Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen : Kemarau Panjang di Kota Hujan

7 September 2021   17:12 Diperbarui: 8 September 2022   14:55 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan Surya Kencana Bogor tahun 2021 (Foto Beritasatu.com/Vento Saudale)

Bogor 1978

Restoran Tionghoa di sudut Jalan Surya Kencana itu terasa hening. Suara isak tangis Erika Amelia Mawardini seakan alunan musik sumbang yang membuat hati ini semakin terasa pedih. 

Kami duduk di ruang pojok yang terpisah dari deretan kursi lainnya, menghadap ke arah jalan Surya Kencana yang ramai dengan kendaraan lalu lalang. 

"Rika sudahlah," kataku membujuk Erika agar menghentikan tangisnya. Namun gadis cantik dengan rambut sebatas bahu ini tidak menghentikan tangisnya. Bahunya berguncang menahan tangis kepedihan hatinya. 

Aku menggenggam kedua tangannya sambil memandang wajahnya yang bersimbah air mata. Perlahan kuhapus tetesan air mata yang jatuh di kedua pipinya.  

"Rika, pandanglah aku!" Erika masih terdiam namun kini tangisnya mulai berhenti. Mata indahnya yang masih berkaca-kaca itu memandangku dengan tajam. 

Mata yang indah yang dimiliki gadis yang aku cintai ini adalah salah satu yang paling aku kagumi. Hidung mancung dan bibir yang selalu ramah dengan senyum adalah perpaduan keindahan seorang gadis yang sempurna. 

Aku seakan tidak percaya menghadapi kenyataan bahwa Erika harus berpisah denganku setelah kebersamaan sejak masa-masa SMP, SMA dan dimasa kuliah. Bagiku Erika adalah segenap cinta yang selama ini aku curahkan. 

Baca juga: Cerpen | Koma

"Maafkan aku Hen," Erika menatapku dengan mata yang masih berkaca air mata. Aku memandang Erika dengan senyum seolah aku ini adalah lelaki tegar dan kuat menghadapi ujian ini. Padahal aku sangat rapuh gampang tersentuh. 

Aku masih menggenggam kedua tangan Erika. Tak sengaja aku menyentuh cincin pertunangannya yang melingkar di jari manisnya. 

"Hen, aku mulai merasakan inilah mungkin pertemuan kita yang terakhir. Esok aku mungkin sudah tidak bisa memandangmu lagi." 

Aku masih memandangnya dengan senyum penuh percaya diri. Aku tidak boleh menujukkan kerapuhanku di depan Erika. Jangan sampai rasa pedih dan rapuh hati ini bisa menambah luka bagi Erika. 

Wajah cantik di depanku ini ibarat Telaga yang bening. Sepanjang tepiannya tumbuh pepohonan penyejuk rasa. Kadang kala burung-burung riang terbang melintas di atasnya. Sementara angin semilir lewat di sisinya. Sungguh penuh dengan kedamaian. 

Wajah teduh di depanku ini adalah pribadi yang kukuh yang selama ini selalu menutup segala rasa jiwaku yang terkadang rapuh. Pribadi dimana segala rasa cintaku bermuara dalam hatinya. 

Erika, gadis pujaanku yang selalu mengingatkanku saat masih berseragam putih abu-abu. Anggun dengan wajah yang teduh, senyum yang ramah. Tutur katanya tertata dengan bijak. Keindahan matanya yang bening dan tajam saat memandang. 

Gadis dambaanku selama ini yang menjadi impianku sebagai ibu dari anak-anakku kelak. Ketika cinta kami berpadu untuk menyongsong masa depan kebahagiaan rumah tangga, tetiba malapetaka itu hadir. Kemarau panjang menjelang ada di hadapanku. 

Terkadang cinta datang dan pergi tanpa diduga. Bahkan, cinta juga bisa hadir di antara kepedihan dan keterpurukkan. Lalu tak lama dari itu, cinta juga bisa pergi di sela-sela harapan dan kebahagiaan yang semu. 

BACA JUGA : Menulis Sketsa Kehidupan: Merasakan Lebih dalam Makna Tobat

Bogor 2021 

Tempat Pemakaman Umum di Ciomas Bogor siang itu sangat terik. Matahari bersinar seakan menembus ubun-ubun. Kemarau panjang di Bogor ini mungkin untuk pertama kalinya terjadi. Biasanya selama ini walaupun musim kemarau namun kadang-kadang masih ada hujan yang turun.  

TPU Ciomas ini adalah salah satu tempat pemakaman bagi jenazah yang terkena paparan covid 19. Mobil Ambulance yang membawa jenazah itu akhirnya tiba. Para petugas dengan pakaian lengkap sesuai protokol kesehatan, sibuk menyelesaikan tugas mereka menguburkan jenazah.   

Di tempat itu hanya ada beberapa orang yang menunggu terutama dari pihak keluarga dan kerabat dekat. Karena memang para pelayat dibatasi oleh protokol kesehatan yang berlaku. 

Aku berdiri sekitar 20 meter hanya bisa melihat dari jauh ketika jenazah itu mulai dikuburkan. Terik Matahari musim Kemarau ini tidak kau hiraukan untuk menghadiri pemakaman ini. 

Ketika semua pelayat meninggalkan makam, aku juga hanya bisa memandang dari jauh ketika seorang wanita dan suaminya bersimpuh berdoa di depan makam yang tanahnya masih basah itu. Jenazah yang baru saja dikuburkan itu adalah Erika Amelia Mawardini. 

Aku masih berdiri di situ ketika wanita dan suaminya selesai berdoa. Mereka mulai berjalan meninggalkan makam mendekat melintas di depanku. 

Aku masih sempat melihat wanita yang sedang berduka itu wajahnya mirip sekali dengan Erika. Aku tak berkedip memandang wajah itu seperti melihat Erika hidup lagi. Tapi wanita itu adalah anak Semata Wayangnya.  Selamat jalan Erika, semoga damai di Sisi Allah. 

@hensa

Sindangpalay 7 september 2021. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun