Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Pijar Api Krakatau

27 Agustus 2021   17:27 Diperbarui: 31 Mei 2023   13:34 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayu Gandana pada pagi Subuh itu masih bertafakur di lantai Masjid Padepokan Cisadane. Dengan khusyu anak muda ini bedzikir mengharapkan segala doa-doanya dikabulkan Allah. 

BACA JUGA : Di Tengah Wabah Ada Misteri Dua Kiyai

Dua hari yang lalu Bayu baru saja tiba di Padepokan yang sekaligus Pesantren miliki Kiyai Usman Bisri. Beliau adalah sahabat dari Guru Bayu Gandana yang ada di Anyer, yaitu Kiyai Furqon.

Bayu membawa amanat dari Kiyai Furqon. Amanat ini sangat rahasia karena menyangkut sebuah rencana pemberotakan terhadap kaum penjajah Belanda.

Tokoh yang menentukan dalam rencana pemberontakan terhadap kaum Kolonial ini adalah Kiyai Haji Wasid. Ulama asal Cilegon yang pernah belajar di Mekkah pada Syekh Nawawi al-Bantani, kemudian mengajar di pesantrennya di Kampung Beji, Cilegon.

Beliau ini yang memberikan arahan kepada para ulama di sekitar Banten termasuk Kiyai Furqon, Guru dari Bayu Gandana.

Usai Subuh itu, Bayu masih sempat berbincang di teras Masjid dengan Kiyai Usman Bisri.

"Sebulan yang lalu juga kami kedatangan utusan Kiyai Haji Wasid dari Cilegon. Mereka sama ingin mengajak berjuang untuk rakya Banten," kata Kiyai Usman dengan suara berwibawa.

"Benar Kiyai."

"Bagaimana kabar Kiyai Furqon nak?"

"Alhamdulillah baik-baik. Sebenarnya Beliau ingin sekali bersiraturahmi ke Cisadane Tangerang ini namun masih banyak yang harus diurus di Padepokan." Bayu menjelaskan keinginan Gurunya berkunjung menemui Kiyai Usman Bisri.

"Iya Nak Bayu. Dari jauh kita bisa saling mendoakan." Kata Kiyai Usman.

Suasana Banten pada saat itu memang sangat tegang. Selain adanya wabah kolera yang melanda rakyat Banten juga musibah musim Kemarau yang panjang. 

Frederik Jacob yang lahir di Den Haag pada 25 Februari 1822 adalah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda saat itu.

Merupakan Gubernur Jenderal Batavia yang ke 58 pada masa kekuasaan Hindia Belanda sejak masa VOC antara tahun 1881 sampai dengan 1884.

Pada masa kekuasaannya Gubernur Jacob ini banyak mengalami tantangan. Tugasnya sangat berat karena harus menghadapi pemberontakan dari para pejuang Banten.

Menurut data intelejen yang diterima Sang Gubernur, ditemukan adanya beberapa ulama yang memimpin rakyat untuk melawan Pemerintah Hindia Belanda.

Fakta itu memang benar terjadi adanya perlawanan bersenjata rakyat Banten terhadap Kolonial Belanda saat itu tidak terlepas dari peran para ulama.

Kejadian yang awal bersifat insidentil jika dibiarkan bisa menjadi satu pemberontakan besar.

Rakyat Banten sangat butuh penggerak untuk menghadapi kesewenangan kolonial Belanda.

Disinilah peran para ulama merupakan sosok-sosok yang tepat bagi rakyat sebagai penggerak karena mereka adalah panutan yang sangat dihormati.

Belanda menganggap bahwa api pemberontakan tidak boleh dibiarkan semakin membakar.

Harus segera dipadamkan secepatnya. Maka Gubernur memerintahkan untuk mengejar para buronan yang merupakan pimpinan para pemberontak tersebut.

"Kiyai apakah pesantren di sini aman-aman saja dari pengawasan para serdadu Belanda?"

"Tidak juga, mereka selalu mengawasi gerak-gerik para santri di sini. Tapi saya tidak khawatir dengan pengawasan mereka." Kata Kiyai Usman.

Memang buron-buron itu adalah para ulama yang mengasuh Padepokan atau Pesantren.  Gerakan itu antara lain dipimpin oleh para Ulama Banten yang paling dicari oleh Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu.

Mereka antara lain Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid. Diantara ulama-ulama kondang tersebut masih banyak ulama-ulama lain dari Ujung Kulon yang juga merupakan sasaran tembak Kolonial Belanda.

Kiyai Usman Bisri tidak perlu mengkhawatirkan tentang keamanan rekan-rekan sesame ulama tersebut. Karena mereka juga memiliki posisi tawar yang kuat terutama terhadap pengaruh terhadap rakyat Banten.

Pengaruhnya terhadap rakyat sangat besar karena mereka sangat dihormati. Pada acara-acara dzikir, pengajian di Masjid atau di rumah-rumah Pejabat setempat, para Ulama tersebut selalu menganjurkan tentang perlunya perang jihad terhadap Pemerintah Hindia Belanda.

Hal inilah yang membuat para Ulama menjadi Buronan Hindia Belanda yang dianggap sangat berbahaya bagi Pemerintah Belanda.   

"Justru saat ini saya khawatir dengan kegiatan Gunung Rakata." Ujar Kiyai Usman Bisri.

"Benar Kiyai, Kemarin siang sudah ada letusan. Debunya saja sampai hingga Tangerang sini."

"Saya khawatir ada letusan lebih besar setelah letusan kemarin.." Kiyai Usman tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.

Hari semakin siang Matahari sudah bergeser tinggi. Waktu Dhuhapun sudah masuk bagi mereka yang melakukan sholat sunah ini.

Hari ini Bayu teringat adalah tanggal 27 Agustus 1883 dan sehari sebelumnya Gunung Krakatau mulai meletus pada 26 Agustus 1883. Awan abu membumbung tinggi hingga ketinggian puluhan kilometer hingga mencapai Padepokan Cisadane Tangerang.

Pagi itu terjadi lagi erupsi yang terdasyat Gunung Krakatau meletus sebanyak 4 kali selama 4.5 jam.

Letusan tersebut yang dimulai pukul 5.30 pagi itu dapat dirasakan siangnya oleh Bayu Gandana di Masjid Padepokan Cisadane.

Letusan yang dihasilkan sangat hebat. Letusan yang terakhir tercatat menjadi letusan yang terhebat. Kekuatannya bahkan melebihi bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima. Letusan Gunung Krakatau yang terakhir terjadi pukul 10.00 pagi.

Semua penghuni Pesantren milik Kiyai Usman Bisri terlihat panik. Para Santri segera berhamburan keluar dari kamar mereka.

Karena letusannya yang besar, guncangannya yang sangat dahsyat sehingga saat letusan Gunung Krakatau itu terjadi menyebabkan tsunami besar.

Ketinggian tsunami pada saat itu mencapai 36 meter lebih. Air bah dari laut di Selat Sunda itu menyapu apa saja yang ada di Pantai Ujung Kulon, Carita dan Cilegon.

Banyak korban akibat tsunami ini. Mereka harus menderita akibat disau air laut yang bercampur dengan lava panas dari kawah Krakatau.

Tercatat korban jiwa dari letusan Gunung Krakatau ini sebanyak 36 ribu jiwa lebih. Sebagian besar para korban ini meninggal akibat hantaman tsunami.

Dampak tsunami itu juga terasa hingga ke Padepokan Cisadane sekitar ketinggian satu meter.

Demikian pula dengan Bayu Gandana merasakan kepanikan luar biasa namun justru pemuda ini berlari menuju Masjid. Bayu duduk bersimpuh dan dia melihat di sana Kiyai Usman juga sedang berdzikir khusyu.

Dalam kekhusyuan doanya Bayu sangat berharap keselamatan Gurunya, Kiyai Furqon di Anyer dan para santrnya mendapat perlindungan dari Allah. Demikian pula orang tuanya yang ada di Dalungserang.

Salam @hensa17

Sindangpalay 27 Agustus 2021. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun