Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Masa Lalu dan Masa Kini

26 Maret 2021   16:13 Diperbarui: 7 Juli 2023   15:48 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto by Pixabay

"Kamu itu gadis yang pertama kali aku kirimi surat cinta. Sebelumnya aku belum pernah kirim surat."  Kataku. Triyoga Indrawati hanya tersenyum. 

"Kamu tahu, aku bikin surat itu beberapa kali gagal dan kertasnya aku robek berkeping-keping. Akhirnya surat yang kamu terima itu adalah hasil usahaku yang ke-17 kali. Saking susahnya bikin surat cinta." Lanjutku. Triyoga memandangku dengan senyum di bibirnya. 

"Jangan lupa, kamu juga adalah gadis yang pertama kali menolak surat cintaku." Kataku kali ini sambil tertawa diiringi tawa renyah Triyoga. 

BACA JUGA : Kisah Janji-janji Gombal Anak Adam

Ini adalah kisah ketika aku menghadiri acara reuni SMP Tahun 2016. Ada kisah yang menjadi pelajaran berharga bagi diriku. 

Ruangan di tempat kediaman Yanti pada Minggu siang yang cerah itu seakan penuh dengan rasa gembira, tawa ria dari para tamu yang hadir dalam acara reuni SMP. 

Memang tidak banyak yang hadir dalam acara itu. Undangannya juga diseleksi sangat terbatas hanya bagi sahabat-sahabat Yanti yang kebetulan akrab pada saat SMP dulu. 

Saat reuni itu usia kami sudah 60 tahun, usia pada saat mana sudah memasuki masa lanjut usia. Enam dasa warsa menempuh kehidupan bukan waktu yang singkat.  

Aku kembali bertemu Triyoga saat itu. Tidak banyak yang berubah dalam dirinya hanya perawakannya saat itu terlalu kurus. Waktu gadis dulu, dia seorang yang bertubuh segar dan padat. 

Termasuk potongan rambutnya yang pendek dengan wajahnya yang masih cantik seperti dulu. Aku seakan tidak percaya Triyoga sudah berusia kepala enam saat aku menjumpainya saat itu. 

Triyoga pernah menikah sekali selama hidupnya lalu bercerai dengan suaminya. Dari pernikahannya mereka tidak dikaruniai keturunan. Mengapa mereka tidak memiliki keturunan?  Mungkin ini hanya pada faktor psikologis dalam pernikahannya. 

Aku mengenal Triyoga dengan keluarganya. Mereka adalah 7 orang bersaudara dan Triyoga adalah anak nomor tiga seperti disematkan dalam namanya, Triyoga. Jelas dari sisi keluarganya, mereka adalah keluarga besar yang memiliki potensi kesuburan dalam hal memiliki keturunan. 

Sampai saat ini, Triyoga masih betah hidup sendiri, tidak ada keinginan untuk menikah lagi. Tentu saja ini adalah keputusannya yang sudah diambil secara matang dalam sebuah pilihan hidup. 

Padahal dulu waktu Triyoga berpisah dengan suaminya, aku yakin banyak pria yang mengantri mengharapkan uluran cintanya. Wanita lajang yang memiliki paras rupawan seperti Triyoga sangat mudah untuk mendapatkan pasangan hidup. Ternyata Triyoga tidak memilih siapapun dari para pria tersebut. 

Begitulah cerita panjang perjalanan hidup Triyoga seperti disampaikannya kepadaku dalam bincang sangat singkat di acara reuni mini. Aku mendengarkan semua rangkaian kalimat demi kalimat yang keluar dari bibirnya. 

Sesekali aku menatap wajah Triyoga sambil bergumam, kamu masih cantik seperti dulu. Kujujuran hati ungkapan kagumku kepada Sang Pencipta. 

Kata orang cinta pertama pada masa-masa sekolah di awal puber itu sering dikenal dengan nama cinta monyet. Bisanya perasaan cinta itu mulai hadir sejak SMP kelas tiga atau SMA kelas satu. Paling tidak itulah yang aku alami bersama Triyoga. 

Sejak SMP dulu hingga bertemu lagi saat itu berarti sudah 45 tahun tidak bertemu karena kebetulan pada masa SMA, kami tidak satu sekolah. Triyoga harus pindah ke Kota lain karena Ayahnya harus bertugas di Kota tersebut. 

Waktu menempuh kuliahpun kami tidak berada dalam satu Kota. Aku kuliah di Bogor dan Triyoga di Bandung. Hanya beberapa kali saja berkirim surat dan sempat pula sesekali bertemu dimana aku berkunjung ke kediamannya di Bandung. 

Lulus kuliah akupun bekerja dan berjodoh dengan Ibu dari kedua anak-anakku saat ini. Sejak itu akupun putus hubungan sama sekali dengan Triyoga. Hingga akhirnya kami kembali bertemu di sini di acara reuni terbatas. 

Pada dialog terakhir ketika hari sudah semakin sore, Triyoga sempat mengingatkan tentang balasan suratnya untuk surat cintaku waktu itu. 

"Hen, kamu harus ingat. Aku tidak menulis menolak cintamu. Coba kamu ingat lagi balasan suratku," kata Triyoga. 

"Iya benar. Kamu hanya menulis dalam surat balasanmu bahwa kamu hanya ingin bersahabat denganku."

"Ternyata aku sudah buktikan dengan persahabatan ini kita masih tetap awet hingga usia 60 tahun. Sedangkan dengan cinta, aku harus bercerai dengan suamiku." Suara Triyoga agak sendu.

Aku juga tertegun dengan kalimat terakhirnya. Itu adalah kalimat terbaik yang pernah aku dengar dari tutur kata wanita yang sangat aku kagumi selama ini.  

Masa lalu dan masa kini yang tidak pernah mengubah apapun antara cinta dan persahabatan. Namun itu hanya berlaku untuk aku dan Triyoga. 

@hensa 

*Kenangan Reuni SMP tahun 2016 yang sangat mengesankan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun