BACA JUGAÂ : Kisah Cinta Jomlo Pesantren
Aku memperhatikan ada gurat-gurat nestapa itu di wajah teduhnya. Mikayla terdiam sejenak, kemudian melanjutkan curahan hatinya.
"Selama ini aku selalu menilai bahwa laki-laki itu adalah mahluk keji, tidak beradab, budak nafsu dan penjajah yang sempurna bagi wanita," kata Mikayla dengan suara pelan.
Aku biarkan saja dia mengeluarkan semua isi hatinya. Maka akupun menjadi pendengar yang baik untuk semua curahan hati Mikayla.
Duka nestapanya, baik pada masa lalu maupun yang saat ini sedang dia rasakan, tumpah ruah. Akupun memungutnya dengan utuh satu demi satu. Biar semua kepedihan hatinya segera saja terbuang ke tempat yang tidak pernah memungkinkan dia temukan lagi.
"Mas Hen, sebenarnya aku tidak mau lagi bercerita tentang peristiwa malam jahanam itu. Mengingatnya saja aku tidak kuasa apalagi menceritakannya kembali. Namun aku harus bicara untuk Mas Hendar," kata Mikayla mulai terisak.
Malam itu bagi Mikayla adalah malam yang mengerikan penuh dengan lumpur dosa, maka wajar jika dia menyebutnya dengan malam jahanam.
Sebelum masa kelam itu, masa remaja Mikayla di Kota Medan itu demikian indah dan manis. Keluarga yang bahagia dan harmonis.
Prestasi belajarnya sangat luar biasa sehingga Mikayla merasa bangga akhirnya bisa diterima kuliah di sebuah Perguruan Tinggi terkenal di Bandung seperti yang dicita-citakannya selama ini.
Namun sejak Ayahnya meninggal yang terjadi saat dia sudah kuliah jauh di rantau, kebahagiaannya seakan telah terengut.
Beban hidup keluarga harus dipikul oleh Ibunya. Walaupun Ibunya tetap bekerja sebagai wanita karir namun tetap saja beban yang dipikul terlalu berat.