Namun Sanca adalah ular besar yang terlalu tangguh. Bahkan Elang harus berjibaku dengan tetesan darah dan bulu-bulu di sayapnya cerai berai.
Telur-telur itu hampir saja habis dilahap Sanca musuh bebuyutan Elang. Dalam ketidak berdayaannya, Elang masih sempat menyelamatkan sebuah telur.
Dengan kedua kakinya yang kokoh dicengkramnya telur tersebut. Â Elang terbang tanpa tujuan sementara luka-luka di tubuhnya semakin parah. Akhirnya Elang mendarat di sebuah kandang Ayam. Sang Elang akhirnya mati karena tidak mampu bertahan dari luka-lukanya yang sangat parah.
Sore itu Induk Ayam baru saja pulang ke kandangnya. Induk Ayam itu heran ada telur yang terpisah dari sarangnya. Dengan cekatan telur itu dikembalikan lagi ke sarangnya. Induk ayan tidak tahu bahwa telur itu adalah telur burung Elang.
Tujuh belas telur itu akhirnya menetas. Satu diantaranya adalah telur burung Elang. Mahluk kecil yang sangat lucu menggemaskan. Induk Ayam seringkali mengamati anak-anaknya.
Seekor anaknya berbeda dengan 16 anak lainnya. Induk Ayam tidak pernah berfikir jika itu adalah anak seekor Elang. Semakin besar maka semakin jelas perbedaan mereka.
Anak Elang itu berbulu hitam legam dengan pandangan mata jeli. Memiliki postur tubuh lebih gagah dengan paruh tajam.
Nalurinya sangat cepat dalam menangkap sesuatu. Anak Elang tampak gesit dibandingkan dengan anak-anak Ayam lainnya. Induk Ayam juga merasakan hal itu tetapi dia tetap menyayangi tanpa pandang bulu.
Namun ada satu hal yang  tidak dikuasainya adalah terbang seperti Elang yang sebenarnya. Maklun kini pergaulannya dengan anak-anak ayam yang tidak bisa terbang.
Siang terik itu Induk Ayam dan anak-anaknya sedang berteduh di bawah pohon rindang. Tempat itu adalah favorit mereka pada saat menghindar dari panasnya terik Matahari. Juga tempat yang aman dari sambaran seekor Elang.
Induk Ayam tidak sadar di atas pohon itu ada sepasang mata sangat tajam dan liar sedang mengincar salah satu anak Ayam miliknya.