Beberapa hari ini aku memperhatikan anak gadis Semata Wayangku kelihatan murung. Tidak seperti biasanya keceriaannya hilang tanpa bekas.
"Bunda! Putri berangkat ke sekolah dulu," suara Putri sambil menyalakan Motor Bebek maticnya lalu terdengar suara motor meninggalkan halaman rumah. Saat pagi itu aku sarapan bersama suami, ternyata pagi itu Putri tidak sarapan untuk yang kesekian kalinya. Tidak biasanya hal itu terjadi. Ini pasti ada apa-apa.
"Mas ada apa dengan Putri akhir-akhir ini begitu pendiam. Sudah tiga hari ini tidak pernah sarapan pagi," kataku kepada Mas Hensa, Suamiku.
"Tidak ada apa-apa mungkin sibuk saja mempersiapkan Ujian Nasional bulan depan," kata Suamiku tenang tanpa khawatir.
Aku sebenarnya bisa merasakan perubahan yang terjadi pada Putri. Mungkin karena seorang Ibu maka perasaan peka itu lebih kuat dibandingkan seorang Ayah. Entahlah.
Maka seusai sarapan pagi itu, aku dan suamiku bergegas berangkat ke Kantor yaitu sebuah Pusat Penelitian Tanaman Perkebunan. Kebetulan kami memang berkantor sama jadi berangkat dan pulang bisa bersama sama pula.Â
Hari itu selama bekerja pikiranku  selalu tertuju kepada Putri. Ada apa dengan anak gadisku. Siang itu aku mencoba menghubungi Putri melalui ponselnya.
"Ya Bunda!" Suara Putri diseberang sana.
"Sayang. Tadi pagi tidak sarapan, apakah sekarang sudah makan siang?" Tanyaku.
"Sudah Bunda tadi makan siang di Kantin. Baru saja juga Ayah telpon menanyakan makan siang, kok Bunda dan Ayah kompak," suara Putri tertawa ceria tampak senang. Mendengar tawa Putri ada rasa lega juga dalam hati ini.
Aku tersenyum rupanya Putri baru juga menerima telpon Ayahnya. Namun tetap saja perasaan khawatir ini terus saja memenuhi relung hatiku.Â