Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Fiksi Teenlit: Cerita Pendek Bunda

16 November 2020   14:30 Diperbarui: 16 November 2020   18:24 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari ini aku memperhatikan anak gadis Semata Wayangku kelihatan murung. Tidak seperti biasanya keceriaannya hilang tanpa bekas.

"Bunda! Putri berangkat ke sekolah dulu," suara Putri sambil menyalakan Motor Bebek maticnya lalu terdengar suara motor meninggalkan halaman rumah. Saat pagi itu aku sarapan bersama suami, ternyata pagi itu Putri tidak sarapan untuk yang kesekian kalinya. Tidak biasanya hal itu terjadi. Ini pasti ada apa-apa.

"Mas ada apa dengan Putri akhir-akhir ini begitu pendiam. Sudah tiga hari ini tidak pernah sarapan pagi," kataku kepada Mas Hensa, Suamiku.

"Tidak ada apa-apa mungkin sibuk saja mempersiapkan Ujian Nasional bulan depan," kata Suamiku tenang tanpa khawatir.

Aku sebenarnya bisa merasakan perubahan yang terjadi pada Putri. Mungkin karena seorang Ibu maka perasaan peka itu lebih kuat dibandingkan seorang Ayah. Entahlah.

Maka seusai sarapan pagi itu, aku dan suamiku bergegas berangkat ke Kantor yaitu sebuah Pusat Penelitian Tanaman Perkebunan. Kebetulan kami memang berkantor sama jadi berangkat dan pulang bisa bersama sama pula. 

Hari itu selama bekerja pikiranku  selalu tertuju kepada Putri. Ada apa dengan anak gadisku. Siang itu aku mencoba menghubungi Putri melalui ponselnya.

"Ya Bunda!" Suara Putri diseberang sana.

"Sayang. Tadi pagi tidak sarapan, apakah sekarang sudah makan siang?" Tanyaku.

"Sudah Bunda tadi makan siang di Kantin. Baru saja juga Ayah telpon menanyakan makan siang, kok Bunda dan Ayah kompak," suara Putri tertawa ceria tampak senang. Mendengar tawa Putri ada rasa lega juga dalam hati ini.

Aku tersenyum rupanya Putri baru juga menerima telpon Ayahnya. Namun tetap saja perasaan khawatir ini terus saja memenuhi relung hatiku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun