"Saya tidak bisa melupakan Pak Alan. Terutama malam itu adalah yang terindah dalam hidup saya." Bisik Audray Lin lirih. Matanya berbinar memandangku penuh rasa cinta. Aku merasakan hal itu jadi tersentuh. Â
Tetapi aku hanya mampu terdiam. Mulutku membisu, hatiku juga membatu. Penuh dengan bongkahan dosa yang kelam. Menjadi sisi lain yang aku rasakan saat ini.
Rinai gerimis di luar masih masih setia mendera rasa dingin dengan cekaman kejam. Sedingin perasaanku yang tidak mampu menaklukan rasa sesalku ini.Â
Kartu Undangan Pernikahan berwarna pink itu masih kugenggam. Ketika aku membukanya. Tertulis dengan huruf yang indah, menikah Audray Lin dan Hansi Tanujaya.
Aku masih termangu memandang kartu undangan pernikahan Audray Lin itu. Pernikahannya bukan membuat kelegaan namun justru menimbulkan rasa bersalah baru. Rasa bersalah ini bisa terus menghantuiku sepanjang hidupku.
Audray Lin aku tidak bisa memahami yang ada dalam dirimu. Pengorbanan yang paling gila, sudah dia lakukan hanya untuk sebuah cinta butanya.
Mungkin lebih gila lagi yang terjadi dengan diriku. Alan Erlangga yang selalu menjunjung cinta ternyata juga sudah mengotorinya dengan kotoran dosa menjijikkan.
Aku rasanya sudah tidak punya muka lagi untuk bertemu dengan Kinanti Puspitasari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H