Aku merasa lega Audray tidak melakukan hal yang aku takutkan, aborsi. Namun ada rasa sesal dengan pertanyaan tadi seolah menjadi sebuah tuduhan.
"Maaf Lin. Aku tidak bermaksud menuduhmu. Sudah lama aku mencarimu untuk bertanggung jawab." Kataku tegas.
"Iya Pak. Saya tahu. Tapi saya bukan orang yang Bapak cintai. Cinta itu tidak bisa dipaksakan." Suara Audray Lin disela isaknya sambil menunduk.
"Pak Alan milik Bu Kinan." Tambahnya. Aku hanya terdiam mendengar kalimat itu.Â
Aku tidak melihat wajah Audray Lin yang periang. Wajah oval yang cantik itu kelihatan muram seperti ada mendung mengurungnya.
Gadis di depanku ini telah memberikan cintanya padaku dengan sebuah pengorbanan yang tidak tergantikan. Dia mengatakan bahwa itu adalah kesalahannya karena terlalu mencintaiku.
"Lin bisakah kamu pikirkan lagi. Aku sudah siap bertanggung jawab." Kembali aku menegaskan dan menunjukkan bahwa aku sangat bersungguh- sungguh untuk bertanggung jawab.
"Pak Alan. Semua sudah terjadi. Bapak tidak perlu seperti itu karena Bapak tidak bersalah. Saya yang bersalah karena saya terlalu mencintai Bapak. Sedangkan Pak Alan adalah milik Bu Kinan." Suara Audray kali ini sudah mulai tegas karena isaknya sudah reda.
"Pak Alan tidak perlu khawatir. Tidak terjadi apa-apa dengan diri saya. Hanya berharap agar Bapak dan Bu Kinan bisa hadir di acara pernikahan kami nanti." Tambah Audray dengan senyum tulus.
Sungguh aku tertegun tidak bisa berkata lebih banyak lagi. Dengan sikapnya itu, aku merasakan bahwa Audray Lin sudah mengorbankan dirinya.
Aku menatap Audray Lin. Kugenggam tangannya. Gadis ini tersenyum walaupun masih kulihat sisa airmata di sudut matanya.