Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Petaka di Tengah Hujan Deras

13 Oktober 2020   13:46 Diperbarui: 13 Oktober 2020   16:58 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto Pixabay

Hujan malam itu semakin deras. Suara petir menggelegar menyambar tepat di atasku. Aku hanya terpaku tak bergerak diam membisu. Aku kehilangan diriku. 

Tumpukan skripsi dan thesis yang harus aku revisi, tergeletak begitu saja di meja kerjaku. Begitu pula beberapa kertas kerja dan makalah yang dalam dua hari ini masih terbengkalai, menunggu sentuhan karena tenggat waktunya sudah semakin dekat.

BACA JUGA : Dialog

Meja kerjaku berantakan tidak karuan. Padahal aku biasanya selalu merapikan meja sebelum pulang. Namun beberapa hari ini, kebiasaan baik itu hilang. Efek psikologis dari hati yang sedang risau.

Saat ini sudah memasuki Oktober, saatnya musim hujan tiba. Jika pagi hari sampai siang panas terik, maka ini pertanda sore harinya hujan turun. Sudah tiga hari ini Surabaya diguyur hujan setiap sore.

Suasana Kampus sudah sepi karena memang hari sudah malam. Hujan sudah reda sejak tadi dan hanya tersisa beberapa genangan air yang mungkin meluap dari saluran yang penuh dengan sampah. 

Aku menuju tempat parkir dan hanya ada beberapa saja mobil dan motor yang masih parkir di tempatnya. Aku mulai menyalakan starter mobil, tetapi sampai berkali-kali tetap tidak berhasil. Ada yang tidak beres dengan mobil ini.

Aku mencoba membuka kap mesin. Tiba-tiba di belakangku Audray Lin menyapaku. Audray berlindung di bawah payung dari gerimis kecil yang tersisa. Mahasiswi program profesi Apoteker ini adalah bimbinganku dalam menyusun tugas akhir. 

"Pak Alan kenapa mobilnya? Sudah ditinggal saja biar aku antar Pak Alan."

Audray Lin menawarkan jasa baiknya. Tidak berfikir panjang akhirnya aku menerima tawaran gadis cantik molek ini. Gadis semampai ini mengenakan pakaian yang terlalu cerdas untuk memamerkan ke elokan tubuhnya.

Audray menyetir Honda Jazz-nya meluncur di tengah hujan deras kota Surabaya. Sepanjang perjalanan memang hujan turun dan Audray dengan terampilnya mengemudikan mobilnya di tengah tengah kemacetan kota Surabaya.

Setelah berhasil keluar dari kemacetan, aku berfikir langsung masuk Tol dalam kota lewat Pintu Tol Darmo. Tapi ternyata tidak,

Audray malah membelokkannya ke arah Darmo Permai. Belum sempat aku bertanya Audray seolah tahu rasa heranku langsung menjelaskan.

"Pak Alan mampir dulu saja ke rumahku apalagi masih sore. Lagi pula malam Minggu ini pak Alan kan gak apel ke Bu Kinan di Bandung." 

"Oke Lin, kamu itu memang suka bikin kejutan."

"Tentu dong Pak Profesor. Nanti akan aku beri lagi kejutan-kejutan lainnya." Kata Audray Lin sambil tertawa lepas.

Hari ini aku lihat Audray begitu gembira dan ceria. Akhirnya kami pun sampai di rumah besar yang asri dengan taman hijau halaman luas sehingga jarak dari rumah satu ke rumah yang lain sangat jauh.

Apalagi pagar rumah yang tinggi membuat rumah ini seolah olah berdiri sendiri tanpa tetangga. Ruang tamu yang nyaman dengan dekorasi interior kelas atas.

Tapi kok sepi tidak terlihat Tante dan Omnya. Hanya ada seorang Pembantu yang tadi membukakan pintu.

"Tante dan Om masih di Singapore sebulan ini, jadi aku sendirian saja hanya ditemani Si Mbok Surti," suara Audray seolah bisa menebak yang ada dibenakku.

Sejak itu hubungan dengan Audray Lin semakin dekat. Bahkan sore itu aku pulang dari Kampus kembali bersama Audray. Kali ini gadis cantik ini ikut mobilku. Aku mengantarnya ke rumahnya di Darmo Permai.

Selanjutnya hampir setiap Sabtu aku selalu bersama Audray Lin. Seperti ketika Sabtu malam itu hujan deras membasahi setiap jengkal tanah kering itu. Malam semakin larut dalam kebisuan. Hawa dingin menusuk tulang dan mendera rasa.

Aku masih terbaring di Kamar berdinding pink itu. Sementara Audray Lin berbaring di sisiku, sambil menangis tersedu. Tangisan sesal yang dalam.

Aku ternyata hanya seorang lelaki lemah. Aku juga ternyata hanya seorang manusia biasa, bukan seorang Nabi, apalagi Malaikat. Alan Erlangga yang sangat nista. 

Lelaki mana yang bisa bertahan menghadapi mahluk cantik yang indah ciptaan Tuhan seperti Audray Lin. Aku menyerah tak berdaya di hadapannya.

Bagaimana aku merasakan melayang bersamanya dalam cakrawala birahi yang sempurna. Sehingga seolah aku menemukan inikah sorga itu?  

Mungkin aku sekarang sudah jatuh ke jurang kehinaan yang terdalam. Sebuah petaka di tengah hujan deras.

"Pak Alan. Maafkan aku," suara Audray Lin dalam isaknya penuh rasa sesal.

Aku hanya terdiam sambil memandang gadis cantik berkulit kuning langsat ini. Kubetulkan letak pakaian yang dikenakan Audray agar menutup tubuhnya dengan baik.

"Aku tahu Pak Alan tidak mencintaiku. Pak Alan hanya milik Bu Kinan. Aku terlalu bodoh melakukan hal seperti ini," kembali suara Audray di tengah isak tangisnya.

Bagaimanapun juga malam itu adalah malam jahanam dalam kehidupanku. Aku tidak tahu seberapa besar kotoran dosa yang harus aku bersihkan dari jiwaku ini.

Ketika aku teringat Kinanti Puspitasari, aku sudah tidak lagi mampu berpikir. Apalagi bicara untuk melamarnya.

Hujan malam itu semakin deras. Suara petir menggelegar menyambar tepat di atasku. Aku hanya terpaku tak bergerak diam membisu. Aku kehilangan diriku.

 @hensa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun