Selanjutnya hampir setiap Sabtu aku selalu bersama Audray Lin. Seperti ketika Sabtu malam itu hujan deras membasahi setiap jengkal tanah kering itu. Malam semakin larut dalam kebisuan. Hawa dingin menusuk tulang dan mendera rasa.
Aku masih terbaring di Kamar berdinding pink itu. Sementara Audray Lin berbaring di sisiku, sambil menangis tersedu. Tangisan sesal yang dalam.
Aku ternyata hanya seorang lelaki lemah. Aku juga ternyata hanya seorang manusia biasa, bukan seorang Nabi, apalagi Malaikat. Alan Erlangga yang sangat nista.Â
Lelaki mana yang bisa bertahan menghadapi mahluk cantik yang indah ciptaan Tuhan seperti Audray Lin. Aku menyerah tak berdaya di hadapannya.
Bagaimana aku merasakan melayang bersamanya dalam cakrawala birahi yang sempurna. Sehingga seolah aku menemukan inikah sorga itu? Â
Mungkin aku sekarang sudah jatuh ke jurang kehinaan yang terdalam. Sebuah petaka di tengah hujan deras.
"Pak Alan. Maafkan aku," suara Audray Lin dalam isaknya penuh rasa sesal.
Aku hanya terdiam sambil memandang gadis cantik berkulit kuning langsat ini. Kubetulkan letak pakaian yang dikenakan Audray agar menutup tubuhnya dengan baik.
"Aku tahu Pak Alan tidak mencintaiku. Pak Alan hanya milik Bu Kinan. Aku terlalu bodoh melakukan hal seperti ini," kembali suara Audray di tengah isak tangisnya.
Bagaimanapun juga malam itu adalah malam jahanam dalam kehidupanku. Aku tidak tahu seberapa besar kotoran dosa yang harus aku bersihkan dari jiwaku ini.
Ketika aku teringat Kinanti Puspitasari, aku sudah tidak lagi mampu berpikir. Apalagi bicara untuk melamarnya.