Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Selingkuh

24 September 2020   17:09 Diperbarui: 25 September 2020   20:40 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah Cafe di Jalan WR Supratman terasa sejuk udaranya karena hujan baru saja reda pada sore itu. Episode cerita pilu sahabat hatiku tersaji di depanku. 

BACA JUGA : Dialog Singkat di Kantin Kampus Jatinangor

Kisah ini diawali ketika sore itu seperti biasa Kinanti menelpon Eko untuk pulang bersama. Namun kali ini Eko tidak bisa pulang karena harus mengerjakan laporan yang belum selesai. Eko mempersilahkan Kinanti pulang duluan.

Kinanti rupanya tidak langsung menuju tempat parkir dimana mobilnya berada.  Tetapi dia malah menuju arah Gedung Fakultas dimana Eko saat itu bekerja.

Memang Gedung Fakultas mereka berdekatan hanya menyebrang jalan lalu berbelok ke arah kanan. Entah ada perasaan ingin tahu saat itu dalam diri Kinanti.

Sebenarnya apa yang sedang dikerjakan Eko di ruang tempat kerjanya. Saat itu Kinanti hanya ingin menemani calon suaminya yang sedang kerja lembur.

Suasana koridor di Gedung Fakultas itu sudah mulai sepi maka Kinantipun berjalan menelusuri koridor itu menuju Ruang Kerja Eko.

Kinanti berdiri di depan pintu namun dia ragu mengetuk pintu itu. Karena sayup-sayup terdengar suara-suara aneh dari seorang wanita yang sepertinya sedang dicumbu.

Kinanti terkejut melihat yang sedang mereka lakukan. Eko lebih terkejut lagi melihat Kinanti sudah berada di depan pintu. Ya Tuhan, Kinanti masih sempat melihat Irma sedang merapikan kembali pakaiannya.

Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Kinanti. Dia hanya memandang Irma dan Eko lalu bergegas meninggalkan mereka berdua.

Itulah kisah pilu yang baru saja diceritakan Kinanti kepadaku. Setelah selesai bercerita, wanita cantik ini masih menangis tersedu di depanku. Tangisan kepedihan.

"Sudahlah Kinan. Semuanya sudah terjadi. Tidak perlu kau tangisi dan kau ratapi seorang Penghianat. Hanya membuang waktumu yang sangat berharga," kataku berusaha menenangkan Kinanti namun dia tetap menangis.

Seorang wanita menangis itu disebabkan hanya oleh dua hal. Pertama hatinya perih karena tersakiti oleh penghianatan dan yang kedua hatinya berbunga karena dicintai penuh dengan kesetiaan.

Saat ini aku melihat Kinanti begitu rapuh. Aku tidak melihat Kinanti yang tegar kokoh dengan pendirian dan prinsipnya. Aku dapat memaklumi apa yang dirasakan Kinanti saat ini.

Penghianatan yang sangat biadab itu telah mengotori hubungan cinta yang seharusnya tetap dijaga dan dirawat agar tetap suci. Kinanti pasti sangat pedih hatinya dan kecewa ketika cinta suci yang dia berikan berbalas dengan penghianatan.

Kini Kinanti sangat membutuhkan pegangan. Tentu saja akulah orangnya yang dia perlukan. Aku tidak ingin Kinanti merasakan kesedihan ini berlarut-larut.

Aku melihat Kinanti masih menangis tersedu. Belum pernah aku melihat wajah cantik itu sedang menangis.

"Kinanti lihatlah ada aku disini. Aku yang selalu bersamamu," kataku sambil menatapnya. Mendengar kata-kataku itu Kinanti mulai tenang.

"Iya Alan terima kasih. Aku sangat membutuhkanmu," suara Kinanti pelan dengan tatapan mata yang masih basah dengan air mata.

Kinanti memandangku dengan wajah sendu. Aku tidak rela sahabat hatiku harus menerima perlakuan menyakitkan seperti ini.

Malam itu suasana Cafe di jalan WR Supratman itu begitu tenang. Alunan musik yang terdengarpun penuh dengan lagu lagu melankolis.

"Kinan ternyata dia tidak setara denganmu. Kau harus mendapatkan cinta yang setara dengan keluhuran cintamu," kataku lagi kulihat Kinanti sudah tidak   menangis lagi.

"Ya Alan seharusnya aku bersyukur karena Allah sudah tunjukkan kepadaku siapa sebenarnya dia. Allah juga yang menunjukkan bahwa teman hidupku bukan dia, mungkin ada yang jauh lebih baik," kata Kinanti dengan suara pelan.

"Kalau begitu mulai saat ini kau harus kembali tersenyum. Dunia ini, beberapa hari ini sangat merindukan senyummu.  Apalagi Alan Erlangga," kataku mulai menggoda.

"Alan Gombal!" Kinanti mulai tersenyum.

"Senyum Kinanti adalah masa depanku," kataku semakin menggoda.

"Hei apa maksudmu?" Suara Kinanti setengah berteriak.

"Ssssst enggak ada maksud apa-apa," kataku ringan sambil tertawa.

Aku melihat Kinanti cemberut namun yang namanya Kinanti cemberutpun tetap cantik. Ada perasaan lega pada saat Kinanti sudah mulai lagi menemukan jati dirinya.

Begitulah seharusnya seorang wanita yang tegar dan tangguh menghadapi apapun yang dialaminya. Sejak awal memang aku yakin Kinanti harus mampu menghadapi persoalan ini. 

Boleh dikatakan aku di Bandung ternyata hanya semalam. Berangkat dari Juanda-Surabaya Sabtu sore tiba di Husen-Bandung hampir Magrib. Malam itu juga ketemu Kinanti di sebuah Cafe Jl WR Supratman.

Besoknya, Minggu pagi sudah check in lagi di Husen menuju Surabaya dengan penerbangan paling pagi.

Tadi saat aku menunggu di Bandara, Kinanti masih sempat telpon hanya sekedar mengucapkan selamat jalan tapi bagiku hal itu sangat berharga.

"Alan terima kasih sudah mau bertemu denganku dan memberiku semangat baru. Selamat jalan ya kabari aku jika sudah sampai Surabaya," kata Kinanti. 

Semua aku lakukan untuk Kinanti. Sekarang rasanya ada perasaan lega yang membuatku merasa tenang.

Mudah-mudahan demikian pula dengan Kinanti kembali menemukan dirinya, menemukan kedamaiannya, menemukan cinta sejatinya.

Dalam perjalanan pulang kembali ke Surabaya itu memang pikiranku penuh dengan Kinanti. Penerbangan pendek Bandung -- Surabaya hanya memakan waktu yang pendek juga namun dalam waktu yang pendek itu penuh dengan pikiran perjalanan panjang penuh liku saat-saat bersama Kinanti.

Sesampainya di Surabaya segera saja aku mengabari Kinanti.

"Alhamdulillah Kinan perjalanan lancar cuacanya juga bagus. Semoga juga hari ini menjadi hari baik bagimu," kataku.

"Bagiku tiada hari yang tidak baik semua hari adalah hari baik. Hari menjadi tidak baik ketika ada seseorang yang berbuat tidak baik," kata Kinanti berfilsafat.

"Ya sudahlah Kinan. Hari yang tidak baik itu sudah berlalu dan tidak mungkin kembali. Tetaplah tatap ke depan. Sesekali saja menengok ke belakang hanya untuk sekedar memperbaiki yang perlu diperbaiki," kataku.

"Oke Alan, aku suka kata-katamu. Persis yang dikatakan Listya tadi malam dia menelponku," kata Kinanti. Ternyata Kinanti juga sempat "curhat" kepada Listya.

"Oh ya, pasti Listya selalu memberimu semangat," kataku penasaran.

"Iya Alan. Dia mengatakan Bu Kinan harus melihat ke depan karena kita hidup akan menuju ke sana jangan buang buang waktu hanya untuk menyesali sesuatu yang sudah terjadi," kata Kinanti menjelaskan yang dikatakan Listya.

"Malam itu seusai bertemu denganmu aku memang menelpon Listya. Tentu saja dia kaget mendengar berita ini," kata Kinanti.

"Kinan. Memang baik juga Listya tahu tentang keadaanmu saat ini dan tentu saja Listya pasti terkejut dengan berita batalnya pernikahanmu," kataku.

Kemudian aku segera menyudahi percakapan ini agar tidak berkepanjangan dikhawatirkan dapat mengingatkan kembali Kinanti pada peristiwa yang menyakitkan itu.

Pertemuan singkat dengan Kinanti di Bandung itu seolah menjadi titik tolak baru bagiku untuk kembali meraih harapanku. Hari hari ke depan bagiku merupakan hari hari penuh harapan.

Apalagi Intan "Si Cantik Kinanti muda" selalu memberi dukungan agar aku tetap fight memperjuangkan cintaku untuk Ibundanya.

Biasanya Intan menelponku saat jam makan siang, seperti siang itu aku baru saja selesai makan siang dan sholat dhuhur, aku menerima telpon Intan.

"Wa alaikum salaam!" aku membalas salam nya Intan.

"Om Alan sedang apa?"

"Baru saja selesai sholat dan makan siang. Intan sudah makan siang belum? Sekarang ada kuliah apa saja?" Kataku balik bertanya.

"Intan sudah makan Om.  Hari ini kuliah pagi, baru nanti siang ada Praktikum Kimia Dasar sampai sore nanti. Om Alan, Intan telpon gini ganggu nggak nih?" Tanya gadis cantik yang sedang mekar.

"Oh tidak apa apa. Om Alan malah senang apalagi membawa khabar tentang Ibu," kataku mulai memancing. Aku mendengar Intan tertawa lepas.

"Rupanya Om Alan kangen sama Ibu ya!"

"Iya dong malah kangen juga sama anak gadis Si Mata wayangnya," kataku menggoda dan kembali terdengar suara tawa merdu Intan Permatasari.

Sungguh memang Intan ini adalah Kinanti saat muda dulu. Suaranya juga merdu persis Ibunya.

"Om Alan. Saat ini Ibu sudah kelihatan mulai kembali bergairah tidak lagi bersedih. Ibu sering menerima telpon dari mbak Listya selain dari Om Alan. Mereka kalau ngobrol sangat serius sekali. Mbak Listya selalu memberi semangat kepada Ibu. Melihat keadaan Ibu sekarang, Intan merasa lega. Ngomong-ngomong bagaimana perkembangan pedekatenya Om?" Tanya Intan.

"Pedekate yang mana Intan?" Kataku pura-pura bego.

"Aduuuh Om Alan ya pedekate kepada Ibu dong," suara Intan terdengar menggerutu.

"Oh itu beres doong. Pelan-pelan saja Om Alan tidak mau tergesa-gesa karena Om Alan tidak mau ditolak yang ketiga kalinya," kataku. Intan tertawa mendengar ucapanku.

"Lho Intan. Dalam hidup Om Alan hanya Ibumu yang sudah menolak dua kali cintanya Om Alan. Pertama dulu sewaktu SMA dan kedua baru saja sebelum Ibu memutuskan memilih Om Eko. Mangkanya tidak mau terburu buru kalau sampai terjadi penolakan yang ketiga kali wah kiamat dunia ini," kataku serius. Kembali terdengar suara tawa Intan.

"Tenang saja Om. Kali ini pasti berhasil. Ibu kalau malam suka berharap-harap ada telpon dari Om Alan," kata Intan. Mendengar ini aku hanya tersenyum.

Intan Permatasari putri Si Mata wayangnya telah menjadi teman akrabku setiap saat. Aku banyak mendapat informasi tentang Ibunya dan rupanya Intan sangat mengharapkan agar Ibunya menikah denganku.

Namun aku hafal betul siapa Kinanti, seorang wanita yang mempunyai pendirian yang kokoh bagaikan karang. Hei tapi nanti dulu, karang kalau setiap hari disentuh oleh ombak mungkin bisa luluh juga.

Sentuhlah karang itu dengan penuh kasih sayang. Ya aku harus tetap berjuang Kinanti adalah harapan terakhirku. Harapanku yang paling logis.

Kinanti belum jadi masa laluku walaupun dia pernah ada di masa laluku namun juga belum nyata menjadi masa depanku. Cinta itu harus diperjuangkan.

Tidak ada kata terlambat. Ini saatnya aku harus memperjuangkan cintaku. Ada sebuah pertanyaan, kenapa dulu aku tidak berjuang untuk cintaku kepada Daisy Listya?

Sebelum menjawabnya muncul lagi pertanyaan berikutnya yaitu apa dulu memang aku tidak pernah memperjuangkan cintaku kepada Daisy Listya? 

Mungkinkah itu sudah takdirku dariNya ketika aku tidak mendapatkan cintaku dari Daisy Listya. Apakah mungkin ada takdirNya lagi untuk takdirku ini?

Entahlah aku lebih baik berserah diri saja kepadaNya untuk semua yang kuperjuangkan.

Untuk Kinanti ini aku berharap dengan izinNya berilah aku takdir cintaku yang utuh. Hanya cintaku yang utuh yang dapat mengobati rasa pilu sahabat hatiku ini.

@hensa 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun