"Oh tidak apa apa. Om Alan malah senang apalagi membawa khabar tentang Ibu," kataku mulai memancing. Aku mendengar Intan tertawa lepas.
"Rupanya Om Alan kangen sama Ibu ya!"
"Iya dong malah kangen juga sama anak gadis Si Mata wayangnya," kataku menggoda dan kembali terdengar suara tawa merdu Intan Permatasari.
Sungguh memang Intan ini adalah Kinanti saat muda dulu. Suaranya juga merdu persis Ibunya.
"Om Alan. Saat ini Ibu sudah kelihatan mulai kembali bergairah tidak lagi bersedih. Ibu sering menerima telpon dari mbak Listya selain dari Om Alan. Mereka kalau ngobrol sangat serius sekali. Mbak Listya selalu memberi semangat kepada Ibu. Melihat keadaan Ibu sekarang, Intan merasa lega. Ngomong-ngomong bagaimana perkembangan pedekatenya Om?" Tanya Intan.
"Pedekate yang mana Intan?" Kataku pura-pura bego.
"Aduuuh Om Alan ya pedekate kepada Ibu dong," suara Intan terdengar menggerutu.
"Oh itu beres doong. Pelan-pelan saja Om Alan tidak mau tergesa-gesa karena Om Alan tidak mau ditolak yang ketiga kalinya," kataku. Intan tertawa mendengar ucapanku.
"Lho Intan. Dalam hidup Om Alan hanya Ibumu yang sudah menolak dua kali cintanya Om Alan. Pertama dulu sewaktu SMA dan kedua baru saja sebelum Ibu memutuskan memilih Om Eko. Mangkanya tidak mau terburu buru kalau sampai terjadi penolakan yang ketiga kali wah kiamat dunia ini," kataku serius. Kembali terdengar suara tawa Intan.
"Tenang saja Om. Kali ini pasti berhasil. Ibu kalau malam suka berharap-harap ada telpon dari Om Alan," kata Intan. Mendengar ini aku hanya tersenyum.
Intan Permatasari putri Si Mata wayangnya telah menjadi teman akrabku setiap saat. Aku banyak mendapat informasi tentang Ibunya dan rupanya Intan sangat mengharapkan agar Ibunya menikah denganku.