"Kinan, memang masa-masa SMA adalah saat paling indah untuk dikenang," kataku perlahan.
"Dan kau pasti mengatakan bahwa Kinanti Puspitasarti, satu-satunya gadis waktu itu yang berani menolak cintamu." Suara Kinanti kembali sendu.
"Oh bukan itu yang harus ku kenang. Tapi masa persahabatan kita yang penuh dengan ketulusan," kataku. Kulihat Kinanti sudah kembali tersenyum.
"Alan, memang kamu adalah sahabat sejatiku."
Kinanti tersenyum dengan sisa tetes air mata di pipinya. Wajah cantik Kinanti tetap memancarkan aura.
Andai saja aku seorang pelukis, maka kulukis wajah cantik itu menjadi karya seni bernilai tinggi.
Saking kagumnya aku memandang wajah cantik Kinanti sehingga tanpa sadar aku berkata: "Kinan kalau lagi menangis malah tambah cantik!"
"Nah mulai playboy nya kumat!"
Kinanti menegurku sedikit marah tapi aku lihat ada rona merah dipipinya. Tampak wanita itu senang dengan pujianku yang jujur.
"Aku kan boleh mengagumi kecantikan sahabatnya," kataku tambah menggoda.
"Sudah Alan! Jangan ngaco terus." Kata Kinanti menggerutu. Aku hanya tertawa melihat Kinanti yang salah tingkah.