Intan menelpon dokter Fahmi menggunakan telpon selulernya. Tidak lama kemudian dokter Fahmi sudah hadir di ruangan ini.Â
Dokter spesialis paru ini memeriksa semua piranti alkes di ruang itu. Demikian pula denyut nadi dan detak jantungku diperiksa dengan teliti. Dokter Fahmi hanya mampu tertunduk.Â
"Inna lillaahi wa inna ilaihi rojiun. Dia sudah tiada.." Suara dokter Fahmi lirih penuh kesedihan. Terdengar suara isak perawat yang bernama Intan itu dengan doa terbaik dari bibirnya.Â
Aku masih terbaring lemah ketika semua kabel dari semua piranti Alat Kesehatan itu dilepas. Termasuk infus yang menjadi cairan gizi satu-satunya.Â
Aku juga tidak berdaya saat kain warna putih itu menutup sekujur tubuhku hingga ujung kepala.Â
Benarkah aku sudah mati? Besok mungkin sudah dimasukkah ke dalam peti untuk segera dimakamkan.Â
Sepanjang malam ini aku masih tak berdaya. Tidak mampu menggerakkan anggota tubuh.Â
Jangankan lengan, jari kelingkingpun terasa kaku. Bahkan hanya sekedar untuk mengedipkan mata saja sudah tidak mampu.Â
Apakah benar aku sudah mati? Entahlah, aku hanya berserah diri. Hanya satu harapanku yaitu bertemu denganNya.Â
Tidak ada harapan setinggi apapun selain itu. Harapan itu satu-satunya kebahagiaan yang bisa aku bawa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H