Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Harapan di Tengah Wabah

1 Juni 2020   15:02 Diperbarui: 1 Juni 2020   21:18 2121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemakaman korban coronavirus (Foto ANTARA/Basri Marzuki)  

Aku tidak ingat entah sudah berapa lama dalam keadaan pingsan tadi. Ini untuk yang kesekian kalinya aku tidak sadarkan diri. 

Saat tersadar, sayup aku mendengar suara dokter bicara kepada perawatnya bahwa aku sudah sangat kritis. Virus ini sangat jahat menggerogoti tubuhku. 

"Dari hari ke hari kondisinya semakin menurun. Apalagi ada penyakit hipertensi bawaan yang membuatnya semakin parah."

Itu suara dokter Fahmi yang selalu setia merawatku dibantu Intan, seorang perawat cantik yang harus menunda acara pernikahannya karena tugas ini. 

Piranti infus dan ventilator masih terpasang utuh berfungsi dengan baik. Aku masih berjuang untuk membuka kedua mataku. 

Memang mata ini terasa berat tetapi akhirnya aku mampu juga melihat ke sekeliling ruangan perawatan ini. Ingatanku perlahan mulai pulih. 

Tiga belas hari yang lalu aku terbaring di kamar yang nyaman ini. Ruangan berdinding putih bersih, rapi, ber AC. Dengan piranti kesehatan yang lengkap untuk menjamin perawatan yang optimal. 

Ini memang RS Darurat tapi memiliki fasilitas yang memadai. Karena gedung ini adalah Wisma yang pernah dipakai dalam ajang olah raga terbesar di Asia. 

Ruangan kembali sepi. Hanya terdengar detak suara jantung yang semakin melemah. Aku masih terbaring tak berdaya. Aku mendengar ada suara kaki mendekati ranjang tempatku berbaring. 

"Oh Tuhan. Detak jantungnya berhenti." Suara Perawat cantik bernama Intan itu sambil memperhatikan piranti monitor yang menunjukkan grafik detak jantung yang sudah terlihat melandai. 

Intan menelpon dokter Fahmi menggunakan telpon selulernya. Tidak lama kemudian dokter Fahmi sudah hadir di ruangan ini. 

Dokter spesialis paru ini memeriksa semua piranti alkes di ruang itu. Demikian pula denyut nadi dan detak jantungku diperiksa dengan teliti. Dokter Fahmi hanya mampu tertunduk. 

"Inna lillaahi wa inna ilaihi rojiun. Dia sudah tiada.." Suara dokter Fahmi lirih penuh kesedihan. Terdengar suara isak perawat yang bernama Intan itu dengan doa terbaik dari bibirnya. 

Aku masih terbaring lemah ketika semua kabel dari semua piranti Alat Kesehatan itu dilepas. Termasuk infus yang menjadi cairan gizi satu-satunya. 

Aku juga tidak berdaya saat kain warna putih itu menutup sekujur tubuhku hingga ujung kepala. 

Benarkah aku sudah mati? Besok mungkin sudah dimasukkah ke dalam peti untuk segera dimakamkan. 

Sepanjang malam ini aku masih tak berdaya. Tidak mampu menggerakkan anggota tubuh. 

Jangankan lengan, jari kelingkingpun terasa kaku. Bahkan hanya sekedar untuk mengedipkan mata saja sudah tidak mampu. 

Apakah benar aku sudah mati? Entahlah, aku hanya berserah diri. Hanya satu harapanku yaitu bertemu denganNya. 

Tidak ada harapan setinggi apapun selain itu. Harapan itu satu-satunya kebahagiaan yang bisa aku bawa. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun