"Amel! Bikin kaget saja kamu ini, mau jemput Listya ya?" Tanyaku.
"Bukan. Saya mau pamit pulang duluan. Oh iya apakah pak Alan mau ketemu Listya? Kebetulan Pak, tolong bisa temani Listya ya."
Lalu Amelia menemui Listya. Mereka kelihatan berbincang-bincang. Akupun akhirnya masuk juga menemui mereka.
"Terima kasih Pak. Mau menemani saya," kata Listya tersenyum sambil memandang ke arahku.
"Lis, tadi Pak Alan ngintip kamu lho," kata Amelia. Mendengar seloroh Amel aku hanya tertawa untuk menghilangkan kegugupanku. Aku tetap berusaha untuk tenang. Bidadari itu hanya tersenyum mendengar selorohan Amelia.
Selama ini Amelia memang sering berseloroh dan menyindir-nyindir seperti itu. Â Tampaknya Amelia tahu gelagat bahwa aku menyukai Daisy Listya.
"Tak usah didengar Lis omongan Amel. Masa saya ngintip melalui kaca jendela sebesar ini. Padahal kalau mengintip kan harus melalui lobang yang kecil misalnya lobang kunci," kataku sambil tertawa yang sebenarnya agak gugup juga kepergok ngintip. Mendengar penjelasanku, Amelia dan Listya juga tertawa.
Tidak begitu lama, Amelia berpamitan, pergi meninggalkan kami. Masih ada beberapa sampel lagi yang belum di inject. Sambil menunggu running kami mulai mengobrol.
Tadinya aku bingung dari mana aku mulai bercerita. Hanya beberapa saat saja kebingungan itu terjadi. Akhirnya kalimat demi kalimat terucap dengan lancar dari relung hatiku seakan aku berada pada peristiwa yang terjadi hampir 20 tahun yang lalu. Maka cerita tentang Diana Faria akhirnya usai juga.
Kini ada rasa lega dalam dadaku ketika cerita itu bisa juga diucapkan didepan Daisy Listya. Aku melihat raut wajah Listya melukiskan kesedihan setelah mendengar ceritaku.
"Saya turut berduka Pak. Walaupun sekarang sudah terlambat 20 tahun yang lalu. Bapak sangat mencintai mbak Diana Faria?" Pertanyaan Listya ini sebenarnya tidak perlu. Karena dia pasti tahu bagaimana perasaanku kepada Diana Faria.