Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Benarkah Ada Cinta di Beranda Rumahmu?

11 Agustus 2019   14:37 Diperbarui: 11 Agustus 2019   17:08 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Kujang Kota Bogor (Foto Simbada.kotabogor.go.id) 

Sabtu itu adalah hari wisuda. Kami dengan suka cita berfoto bersama keluarga untuk merayakan keberhasilan meraih kesarjanaan dalam bidang keilmuan tertentu. Suasana kegembiraan para mahasiswa yang telah berhasil meraih impian mereka selama ini. 

Aku sangat bersyukur kelulusanku berpredikat Sangat Memuaskan dengan IPK 3,65 sedangkan Aini sudah bisa ditebak dia lulus dengan predikat Cumlaude. Hari wisuda itu benar-benar penuh dengan kegembiraan sekaligus keharuan yang mendalam.

Baca Juga : Injakkan Kakimu di Bumi

Ketika  seluruh rangkaian acara wisuda sudah selesai aku menuju pelataran parkir. Di sana kulihat Aini melambaikan tangannya kepadaku lalu dia menghampiriku.

"Hensa nanti malam aku tunggu di rumah ya!" suara Aini bernada gembira sambil tersenyum manis. Aku baru ingat undangannya untuk hadir dalam acara tasyakur keluarga.    

"Ya Aini! In Sya Allah aku akan ke rumahmu, " kataku perlahan. Aini masih tersenyum saat  kembali menemui keluarganya yang sudah menunggu di pelataran parkir mobil. Kulihat di sana Bapak dan Ibu Bachtiar Chaniago, kedua orang tua Aini melambaikan tangan kepadaku. Aku membalas lambaian tangan mereka.

Malam itu Rumah Aini di Jalan Bangka nampak lebih hangat karena banyak tamu yang hadir memenuhi undangan acara syukuran keluarga atas keberhasilan Aini Mardiyah menyelesaikan studinya.

Ketika aku datang, aku melihat di dalam ruangan itu sudah penuh dengan tamu undangan. Selain kerabat dekat keluarga juga tampak di sana teman-teman Aini sepeti Alan, Retno, Triana, Bagus, Zulkifli, Risa, Nina, Ardian, Hendra, Fadel, Kinas, Tuti, Santi, Sinta, Sisi, Sifa, Amza, Reza, Mita, Mega, Zidan, Qori, Ardhi. 

Baca Juga : Rahasia Hati Wanita Sedalam Samudera

Acara syukuran ini memang sangat sederhana namun tidak mengurang rasa khidmatnya.  Mengawali acara adalah sambutan tunggal Bapak Bachtiar Chaniago. Beliau adalah Ayah Aini seorang Dosen dan Guru Besar Fisika di UI. Pantaslah jika Aini adalah gadis yang cerdas karena berada dalam lingkungan orang-orang pintar.

Ibunya Aini ada di samping Pak Bachtiar pada saat memberikan sambutan dan petuah. Kecantikan ibunya ini rupanya yang menurun kepada anak gadisnya. Aini adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Dua orang kakaknya semua laki-laki. Mereka alumnus pertambangan ITB dan kedokteran UI. Sekarang mereka sudah berkeluarga.

Selama sambutan tunggal Pak Bachtiar itu, sama sekali aku tidak memperhatikan apa yang diucapkan beliau. Perhatianku hanya fokus kepada gadis cantik dengan jilbab rapi menutupi wajah oval bermata tajam dan indah, berhidung mancung, berbibir ramah dan manis jika tersenyum.

Gadis yang saat ini ada persis di depanku ini penuh khusyu mendengarkan setiap kata dan kalimat Sang Ayah. Aku merasakan kedamaian setiap memandang wajahnya. Tak bosan-bosan aku memandangnya yang saat itu sedang tertunduk penuh hidmat mendengarkan wejangan Ayah tercintanya.

Oh Tuhan begitu sempurna Kau ciptakan dia Maha Besar Engkau ya Allah. Apakah Kau izinkan andaikan dia jadi istriku?. Aku merasakan kedamaian jika berada di dekatnya ya rasanya sama seperti dulu ketika Erika masih bersamaku. 

Perasaan-perasaan seperti itu seolah kini berulang. Getaran-getaran hati ini juga demikian. Tidak salah aku memang sedang jatuh cinta kepada Aini.

Tanpa sadar aku sudah demikian lama memandangi Aini ketika tiba-tiba Aini mengangkat wajahnya dia tersenyum memandangku dan aku sudah pasti terkejut karena kepergok sedang memandangnya. Tapi aku segera membalas senyumnya. Kami berpandangan sambil tersenyum. 

Acara syukuran malam itu ditutup dengan doa juga dipimpin oleh Pak Bachtiar. Para tamu lalu beramah tamah dengan menimati sajian makan malam bersama. Acara sederhana ini selesai tidak terlalu larut malam. Para tamu satu-demi satu mulai berpamitan.

Baca Juga : Hari Pernikahan Itu

Saat itu sebenarnya aku juga akan segera berpamitan ketika tiba-tiba Aini mencegahku agar aku sebaiknya jangan pulang dulu. Kulihat Alanpun sudah pamit duluan. Akhirnya semua tamu-tamu sudah pulang tinggal aku sendirian.

"Hensa mari kita duduk di teras depan saja," ajak Aini. Kami berdua menuju teras depan. Di sana memang lebih nyaman karena bisa langsung memandang ke arah jalan Bangka yang malam itu sudah mulai sepi.

Biasanya dari pagi sampai sore jalan ini super ramai karena dilalui Angkutan Kota dari Terminal Baranang Siang pulang pergi ke arah penjuru kota Bogor seperti jalan Merdeka, Pasar Anyar, Pasar Bogor, Jalan Surya Kencana, Tajur sampai ke arah Ramayana, Pangrango, Raya Pajajaran, jalan Salak, Gunung batu, Sindang Barang, Demaga dan entah kemana lagi.

"Hensa ada kabar baik lagi hari ini," suara Aini mengejutkanku.

"Berita apa Ain?" tanyaku terheran-heran.

"Insya Allah aku mungkin diterima di salah satu Universitas di Brisbane. Kolega Papaku di sana bisa merekomendasikanku. Transkip nilaiku sampai  semester 7 dan hasil ujian Toefl sudah mereka evaluasi jadi ijazah S1 dan transkip semester 8 nanti tinggal  melengkapi persyaratan  yang terakhir saja," kata Aini dengan wajah bercahaya penuh kegembiraan.

"Aku ikut senang Aini. Akhirnya bisa melanjutkan S2 di sana dan itu pantas untukmu. Jangan sampai kepandaianmu menjadi sia-sia." Kataku sambil menjabat tangannya yang lembut.

"Bisa saja kamu. Lalu Hen apa rencanamu setelah lulus nanti?" tanya Aini.

"Profesor Tris telah memintaku untuk tetap membantu beliau  dalam praktikum kimia dasar, organik, analisis dan instrumen analisis sambil aku menunggu formasi tenaga dosen." Aku memang ingin menjadi Aparat Sipil Negara, seorang Dosen di Perguruan Tinggi. Profesor Soetrisno,Pembimbing skripsiku sudah menjanjikan formasi tersebut. Itu artinya aku tetap akan tinggal di Kota Bogor yang penuh dengan kenangan ini.

"Syukurlah kalau kau masih mau tetap tinggal di Bogor. Nanti kalau aku sedang liburan kuliah tidak perlu susah susah mencarimu kalau kau masih di Bogor iya kan?" kata Aini sambil tertawa kecil.

Baca Juga : Seusai Praktikum Kimia

Mendengarnya  terus terang aku bisa menyalah artikan kata-katanya. Apakah itu berarti ia akan merindukan aku selama dia di Australia. Nah lho iya kan mulai lagi aku harus melayang-layang di Angkasa dengan angan-angan yang kosong.

Kata-katanya ini bagiku seperti sebuah angin surga lagi. Beberapa hari ini banyak tingkah dan perkataan Aini yang menjadi angin harapan bagiku. Aku semakin merasakan banyak pertanyaan yang harus mencari jawabannya.  

"Aini kapan rencana kepergianmu ke Australia?" tanyaku.

"Besok aku harus bersiap karena  dua hari setelah itu ada intensif bahasa Inggris yang harus kuikuti di sana selama tiga bulan sebelum mengikuti kuliah pada awal Agustus, " kata Aini.

Oh Tuhan hanya tinggal malam ini aku bisa bercengkrama dengan gadis ini dan setelah itu aku harus berpisah dalam waktu yang lama. Entah kapan akan dipertemukan kembali dengannya.

Malam itu kami duduk diteras depan. Suasana malam itu seperti berbeda. Kulihat Aini tidak ceria seperti biasanya. Wajahnya yang teduh yang selalu menjadi rasa damai hatiku, terlihat agak bermuram.

"Hensa aku sebenarnya berat meninggalkan kota Bogor ini. Bukan apa-apa aku tidak terbiasa merantau. Di Australiapun nanti aku tinggal di rumah sepupu Papaku yang sudah delapan tahun bekerja di Brisbane. Mudah-mudahan aku betah di sana," kata Aini dengan suara pelan.

"In Sya Allah Aini demi kariermu dan demi masa depanmu kau pasti betah di sana," kataku perlahan namun rasanya kalimat itu terucap seperti tersendat di kerongkongan.

"Hensa rasanya seperti mimpi malam ini ternyata malam terakhir kita ketemu karena besok aku harus pergi ke Australia. Besok aku dapat penerbangan malam pukul 20.00 dari Bandara Soekarno Hatta."

"Iya Aini. Rasanya seperti mimpi. Empat tahun bersama tidak terasa ternyata besok kita harus berpisah." Aku merasakan ada rasa haru dari setiap perkataan Aini malam itu. Aku mencoba memandang wajahnya yang lembut terlihat ada garis-garis kesedihan.

"Hen. Aku berharap kau mau hadir mengantarkan kepergianku tapi jika tidakpun malam ini kita kan sudah ketemu. Aku hanya berharap doamu Hen, agar aku diberi ketabahan karena aku merasakan begitu berat  meninggalkan Bogor yang penuh dengan kenangan ini," suara Aini perlahan hampir tak terdengar lalu aku melihat ada setitik air mata dipipinya.

Sesungguhnya aku terkejut mengapa Aini menangis. Kenapa harus ada air mata itu di pipinya. Apakah dia berat meninggalkan Bogor atau berat meninggalkanku. Aku tidak tahu.

Baca Juga : Tangga Perpustakaan Kampusku

"Maafkan aku Hensa. Aku terlalu hanyut dengan perasaan ini," kata Aini sambil mengusap air mata itu.

Aku masih terdiam tak dapat berkata sepatah katapun. Apakah ini saatnya aku mengutarakan cintaku yang selama ini aku pendam dalam-dalam. Inikah saatnya? Apakah aku punya keberanian mengucapkan cintaku?

Aku merasakan dia mencintaiku ya aku merasakan hal itu. Tapi apakah benar dia mencintaiku? Ataukah itu hanya dugaanku, hanya perasaanku saja?

Oh Tuhan seharusnya aku tahu diri. Aku jadi ingat Firman Allah:"Bahwa Perempuan baik-baik hanya untuk Lelaki baik-baik. Aini adalah perempuan baik-baik tentu dia layak mendapatkan Lelaki baik-baik." 

Lalu aku ini siapa? Lelaki baik-baik? Nanti dulu. Belajar agama saja baru akhir-akhir ini setelah Aini banyak membantuku. Sudahlah Hensa jangan mimpi dapat memperoleh cinta Aini. Lagi pula Aini mana mungkin mau mencintai seorang sepertiku yang dulu pernah menjadi kekasih Erika Amelia Mawardini, sahabatnya sendiri.

"Hen kenapa kamu melamun?" Suara Aini menyapaku lembut namun sudah membuat aku tersentak dari lamunanku.

"Oh tidak Aini. Aku sebenarnya juga merasa sedih setelah malam ini entah kapan kita ketemu lagi," kataku pelan menggambarkan kepasrahan. Ketidak berdayaanku bagaimana bisa membuat Aini tidak hanyut dalam kepedihan itu.   

Kulihat Aini hanya tertunduk membisu dan kembali aku melihat setitik air mata meleleh dipipinya. Air mata itu semakin deras sampai ketika malam semakin larut dan aku harus berpamitan.

Tak ada kata-kata ketika aku bergegas pulang. Hanya tatapan mata Aini yang indah itu begitu penuh arti bagiku. Aku seperti mengenal tatapan mata seperti itu. Tatapan mata yang  seolah menunggu ungkapan perasaan hatiku kepadanya. Namun aku dibelenggu keraguan untuk mengungkapkan rasa cintaku.

Ya aku seperti mengenal tatapan mata seperti itu. Tatapan mata harapan dan kerinduan akan cinta dan kasih sayang. Benarkah?  Dasar Bodohnya Aku.

Bandung 11 Agustus 2019 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun