Dear Diary
Malam itu aku menyaksikan pertunangannya dengan Pria idamannya. Aku melihat dia sangat bahagia. Bagaimana aku ingat setelah penyematan cincin tunangan itu dia setengah berlari menghampiriku dan aku menyambutnya dengan uluran tangan ramah sambil mengucapkan “selamat sahabatku,” kataku tersenyum. Dia membalas senyumku sambil mengatakan “terima kasih sahabatku.”
Dear Diary
Tidak terasa bulan depan, dia akan melangsungkan pernikahannya. Sabtu kemarin masih sempat dia menjengukku di sini. Saat pertemuan itu tidak banyak yang aku bicarakan dengannya.
“Aku berharap kau cepat sembuh. Aku ingin kau hadir dalam acara pernikahanku” katanya berharap.
Kata-kata ini justru membuatku bertambah pedih. Dia memang belum aku beritahu jika saat ini aku terbaring di sini sedang berjuang melawan Leukemia. Cobaan berat yang harus dihadapi bukan saja olehku tapi juga oleh Ayah dan Ibu serta adik-adikku.
Dear Diary
Aku tidak tahu sampai seberapa lama usiaku. Tiba-tiba saja aku berubah pikiran tentang cerpen yang tidak boleh ia baca. Aku takut dalam waktu dekat ini pergi meninggalkannya. Maka aku ingin menizinkannya untuk membaca cerpenku. Semoga saja setelah membaca cerpen itu, dia tahu siapa diriku. Dia tahu dengan sikapku dalam mendukung pernikahannya. Dia tahu cintaku adalah kebahagiannya. Dia tahu kalau aku mengagumi dan menghormati ketaatan pada keyakinan yang dianutnya. Dia juga tahu akulah sahabat sejatinya yang selalu hadir pada setiap helaan nafasnya, kedipan matanya dan detik detak jantungnya. Sahabat selamanya saat nanti aku ditakdirkan untuk pergi meninggalkannya. Pulang menuju ke RumahNya yang Abadi.
Bandung 13 April 2016