Pribadi yang kukuh kupandang di muka cermin dan kulihat wajah dengan sebuah sinar cerah memandang ke depan. Apa pula yang ikut terlintas dalam benakku kali ini?. Tidak hanya rindu tapi juga gugup dan lelah yang menanti saat duka duka berlalu minta diri. Wajah wajah lain bertemu sendu. Aku mencoba tersenyum menyentuh sapaannya. Hanya sejenak hatiku terbuka menyapa sepi menimang sunyi ketika tiba-tiba sapa lembut yang lain membangunkan aku dari kehampaan kata. Ada disana pribadi yang kukuh yang kupandang dari jauh dengan sebuah niskala. Dimanakah dia?. Diary. Begitulah kira-kira Erika dalam hatiku selalu ada namun tidak pernah kutemukan. Oh dimanakah dia. Mungkin saat cintaku padanya terucap, dia akan hadir. Benarkah? Ah Diary kenapa aku harus ragu.
Sabtu 5 Maret
Dear Diary. Ada rasa kecewa malam ini. Aku harus berhasil melepas lingkar yang menjerat leher maka bebas bebaslah diriku terbang lagi. Tak peduli awan pesonamu yang membumbung indah itu tak akan mampu meluluhkan karang hatiku. Oh Diary malam ini Erika bersama Boy. Cemburukan aku? Terpurukkah aku? Kecewakah aku? Lalu kepada siapa semua perasaan itu dilampiaskan? Itu semua hanya karena kebodohanku. Oh aku memang bodoh.
Di sini aku masih berusaha untuk berdiri tanpa bergeming. Tanpa apa apa. Di sini senyumku masih mengambang riang seperti semula. Di sini tawaku masih memekak dan halus menyentuh penuh gelak. Di sini, di sini aku berdiri masih seperti semula. Diary. Namun begitu sungguh aku harus termangu memikirkan kebodohanku.
Senin 7 Maret
Bertemu Erika pagi itu seperti biasa di depan pintu kelasnya. Seperti biasa gadis cantik ini tersenyum padaku. Aku tidak bisa mengelak untuk membalas senyumnya dan anehnya gundah malam tadi seolah sirna oleh senyum Erika. Biarlah Dear Diary. Memang aku biarkan senyum itu selalu singgah di hatiku. Hingga pada suatu saat aku menemukan diri sendiri. Tidak lagi diselimuti butir butir salju beku. Tidak lagi ditutupi lembar lembar angkuh. Aku telah kembali menemukan diriku dalam keadaan utuh. Namun kecewa malam Minggu itu tetap menghantuiku. Untungnya di Kantin Sekolah itu aku bertemu Wina.
“Win tahu enggak malam Minggu kemarin Erika bersama dengan Boy!”
“Nah lho. Keduluan kan!” kata Wina sambil tertawa.
“Wina apakah aku sudah tidak ada harapan?”
“Mangkanya kamu harus berani Hensa. Ok tenang saja nanti aku akan cerita pada Erika!”
“Lho cerita apa?”