Siapapun Anda, sliahkan membaca. Walaupun Anda bukan pencinta teori social-politik, Anda mungkin menyukai teknologi, kalaupun tidak, mungkin anda tertarik dengan taktik dan strategi, atau mungkin, hanya sekedar tidak semuanya, namun satu hal yang saya harus pastikan, Anda pasti mencintai Tanah Air Indonesia, dimana itulah esensinya.
Teror, yang marak terjadi di belahan dunia manapun yang juga pernah terjadi di Indonesia, nampaknya memberikan kesan tersendiri di benak para teroris, dimana teror dalam bentuk apapun selalu menjadi sorotan media massa dan senantiasa memberikan horror tersendiri bagi setiap orang. Analogi kali ini yang akan saya angkat adalah mengenai teror bom, karena hampir seluruh rakyat Indoneisa pernah dihantuinya.
Bom! Kata yang sangat singkat, namun destruktif.
Secara social-politik di Indonesia, saya merasa ada bom yang diciptakan bukan oleh jaringan teroris manapun di dunia, bahkan Al Qaeda tidak membuat tipe bom ini. Tak lain tak bukan, pembuatnya adalah saya dan Anda, hanya saat kita memiliki disintegritas.
Apa itu disintegritas? Disintegritas adalah bentuk negatif dari integritas yang berarti :
in·teg·ri·tas n mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan; kejujuran;
-- nasional wujud keutuhan prinsip moral dan etika bangsa dl kehidupan bernegara.
Silahkan interpretasikan bentuk negatifnya (silahkan pergunakan kata ‘tanpa' dan 'tidak'), cukup jelas bukan?
Bom waktu disintegritas inilah yang sangat mungkin meledakan Indonesia dalam waktu cepat atau lambat. Bom itu terpasang di setiap orang dan generasi Indonesia, yang muda ataupun yang tua, yang berkuasa sampai yang papa, semua bisa menjadi detonatornya. Setiap kali kita memilih bertindak ‘cepat' secara salah waktu peledakan dipercepat satu momentum. Dan di saat setiap manusia Indonesia sudah melupakannya, Indoneisa bukan hanya akan terbagi oleh lautan indah, namun terbagi oleh kubu-kubu yang sangat banyak dan semuanya lumpuh. Hal ini dikarenakan system yang sudah menjadi disorder dan selalu dilanggar dan dipertanyakan keabsahannya. Menjadikan kebenaran sangat sulit diraba dan birokrasi terlampau rumit, dan daripada itu, orang memilih untuk menjadi individual dan melakukan segala sesuatu sendiri. Silahkan ingat kejadian terbaru ledakan bom di J.W. Mariott dan Ritz Carlton.
Analogikan saja seperti itu. Bayangkan ketika itu terjadi pada NKRI secara keseluruhan, tempat dimana Anda dan saya sekarang tinggal, makan dan minum serta menyambung hidup.
Saya rasa cukup jelas. Dikarenakan kita adalah detonatornya, maka kita juga lah yang menentukan kapan bom akan meledak, atau bahkan, jika menjadi bijak, mari kita menjadi gegana-gegana bagi bom disintegritas itu.
Suatu perumpamaan kecil dalam menjinakkan bom:
Berikut langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam menjinakkan bom
1. Ketahui jenis bom, Anda akan mengerti dampak kehancurannya.
2. Ketahui kapan bom akan meledak! Apakah sudah sangat dekat waktunya?
3. Cari sumber energi bom (semacam baterai atau lain sebagainya), karena ledakkan berasal dari sana.
4. Putuskan bahan eksplosif atau pelatuk (yang dapat meledak) dari sumber bom. Biasanya dihubungkan dengan kabel.
5. Lihat, apakah masih tersisa pengaman-pengaman lainnya seperti sinar infra merah yang mendeteksi gerakan dalam memicu ledakan.
6. Amankan sumber dari pelatuknya.
7. Segera pisahkan sumber dari lingkungan ramai dan jadikan kembali ke bahan mentah (misal: bubuk mesiu, atau bahan kimia lainnya).
Analogi sederhana ini dapat dikembalikan kepada teror bom disintgritas di Indonesia.
1. Jenis bom: bom disintegritas, dampak kehancuran: NKRI terpecah belah!
2. Bom meledak ketika kita memilih untuk melanggar integritas yang tercantum dalam norma, nilai dan undang-undang. Sudahkah kita mematuhinya, atau lebih cepat dengan menghalalkan segala cara yang salah?
3. Sumber energy bom: kita sendiri.
4. Kabel penghubung: keinginan untuk menjadi lebih baik, namun tidak mau berusaha. Singkat kata, itu hanya ambisi yang merugikan orang lain dan kita. Bukan sebuah visi yang berdampak positif.
5. Pengaman-pengaman lain: paksaan dan hasutan orang orang sekeliling yang menyarankan ‘lebih cepat'.
6. Cara pengamanan: pilihlah untuk menjadi benar dalam hidup dan memilih kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan baik. Karena benar adalah absolut namun baik adalah relative. Jangan maruk dengan apa yang seharusnya bukan milik kita.
7. Introspeksilah ke dalam diri kita masing-masing, sudahkah saya berintegritas dalam hidup ini? Menjadi manusia Pancasila dan masyarakat madani seperti yang dicita-citakan? Mari kembali kepada konsepsi awal sebuah kehidupan Pancasila, yang menjunjung tinggi Ketuhanan, menjadi adil dan beradab, bersatu, memiliki hikmat dan kebijakan dengan bergaul, dan berkeadilan secara benar.
Posting yang sangat sederhana sebenarnya, namun apabila ada kalimat kalimat yang membingungkan, saya rasa Anda memiliki hikmat dalam menginterpretasikan tulisan saya dan berharap dapat menjadi sesuatu yang menggugah kita untuk menjadi lebih baik menjadi seorang anak Indonesia yang berbakti kepada Ibunya.
Suka tak suka pilihan anda, setuju tak setuju itu hak anda.
Saya hanya menjadi duta, harapan saya Indonesia Berjaya!
Written 15th Jan 2010
referensi: http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H