Mohon tunggu...
henri Silalahi
henri Silalahi Mohon Tunggu... Pengacara - Ketua Yayasan Generasi Baru Bahana Indonesia

Tertarik pada apapun yang membuat diri tumbuh lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Medan Pilihan

Danau Toba, Otoritas Adat, Pemerintah, dan Bla... Bla... Bla...

20 Januari 2025   00:50 Diperbarui: 20 Januari 2025   00:50 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Medan. Sumber ilustrasi: TRIBUNNEWS/Aqmarul Akhyar

Sebelum mengurai maraknya jargon pembangunan yang memberi dampak hegemonik bagi kesadaran masyarakat lokal, ada baiknya membicarakan lebih dulu nilai kebudayaan yang kian luntur akibat tidak terfilternya pengaruh globalisasi. Hal ini penting, sebab kedua hipotesis tersebut bermuara pada tujuan yang sama, yakni terciptanya Danau Toba sebagai kawasan akumulasi kapital baru, yang berdampak pada pengikisan kebudayaan, kerusakan lingkungan dan pengabaian hak-hak masyarakat lokal.

Globalisasi sebagai proses dimana dunia menyatu tanpa batas terbukti telah melanggengkan proses akulturasi di kawasan Danau Toba. Secara teoritik, akulturasi terjadi apabila ada dua atau lebih kebudayaan bertemu dan saling mempengaruhi, namun dalam konteks ini, pengaruh budaya luar lah yang lebih mendominasi dibanding budaya lokal. Saya rasa tidak perlu menguraikan hasil studi empirik untuk melegitimasi argumentasi ini, sebab memang itulah yang terjadi.

Tradisi turun temurun yang menempatkan hutan dan danau layaknya ibu yang harus dirawat (melalui prosesi kebudayaan) kini kian terkikis, begitu pula terlihat dari berkurangnya jumlah rumah adat (rumah bolon), memudarnya penggunaan bahasa batak, hingga kurikulum pendidikan yang tidak lagi mengajarkan kebudayaan lokal. Sedihnya lagi, otoritas adat kini tidak lagi memiliki determinasi untuk menentukan arah pembangunan kawasan.

Diakui atau tidak, kini kita lebih banyak tunduk pada keputusan positif pemerintah (melalui peraturan perundangan), seolah pemerintah yang lebih tahu apa yang baik atau tidak untuk Danau Toba. Padahal dalam beberapa momentum pengambilan kebijakan, partisipasi masyarakat justru dibatasi sehingga sulit untuk mengatakan bahwa kebijakan pembangunan kawasan danau toba representatif untuk kepentingan masyarakat atau tidak.

Dan dampaknya? Kita bisa lihat, pencemaran lingkungan, maraknya konflik lahan (tanah ulayat), kriminalisasi, penggusuran, dan bentuk perampasan ruang hidup lainnya. Kondisi seperti ini tentu memprihatinkan, padahal Danau Toba dan masyarakat adat sudah ada jauh sebelum pemerintah ada.

Di sisi lain kita memiliki masalah yang tak kalah akut. Banyak anggapan yang menyatakan bahwa akar masalah dari kerusakan Danau Toba adalah eksploitasi kapitalisme yang tak terkontrol. Mungkin sebagian dari anda akan memprotes anggapan ini, tapi sebelum anda melakukannya, izinkan lebih dahulu saya mengurai argumentasinya.

Industrialisasi yang berkembang pesat di Danau Toba bisa menjadi momok yang menakutkan apabila tidak ada langkah mitigasi dampak dan revitalisasi lingkungannya. Kita ambil contoh, Menteri KLHK pada 2016 silam dalam Rakor bersama BOPDT, menyatakan bahwa Danau Toba sudah menjadi "tempat buang limbah" dari perusahaan dan masyarakat di sekitarnya, dimana terdapat 262 ton per hari, 7.781 per bulan, 95,760,4 ton per tahun limbah yang dibuang ke Danau Toba dan jumlahnya terus bertambah setiap tahun.

Sebelumnya, kami yang tinggal di kawasan Danau Toba sering mendengar ungkapan lama dari para orang tua, "najolo, boi do diminum aek ni tao on" yang berarti "dulu, air danau toba ini bisa diminum" (langsung/tidak dengan cara dimasak). Lalu apakah sekarang masih bisa? Tentu bisa, kalau sekedar minum, tapi tidak saya dianjurkan karena tidak akan baik untuk kesehatan Anda.

Sedikitnya itulah kerusakan yang terjadi di dalam danau (belum lagi kita bicara soal menurunnya populasi ikan, lumut, dan lain-lain). Lalu bagaimana dengan kawasan hutan di sekitar Danau Toba? Apakah mengalami kerusakan akibat industrialisasi? ini relevan ditanyakan untuk menguji hipotesis pertama.

Harus diakui, sangat sulit mengakses data terbaru berkaitan dengan kondisi kawasan hutan di sekitar Danau Toba, namun setidaknya data olahan berikut bisa memberikan gambaran kepada kita. Badan Lingkungan Hidup Sumut, mencatat per 2010 silam, sisa vegetasi hutan di kawasan Danau Toba tinggal 12 % dari total sekitar 356.800 sebelumnya. Penurunan jumlah yang "sangat gila".

Masalah ini sesungguhnya diwali dari ugal-ugalannya pemerintah daerah dalam memberikan izin konsesi hutan ke beberapa perusahaan. Misal, padal 1984, Pemda Provinsi memberikan izin ke PT. Inti Indorayon Utama (IIU) untuk melakukan penebangan pohon secara masif di sebagian besar wilayah hutan lindung. Saat ini PT IIU berubah menjadi PT Toba Pulp Lestari dan mengantongi izin seluas 188.055 hektar (dua kali lebih luas dari Kabupaten Samosir) tersebar di 13 kabupaten, dan delapan di antaranya adalah wilayah resapan air.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Medan Selengkapnya
Lihat Medan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun