Mohon tunggu...
Henri Nurcahyo
Henri Nurcahyo Mohon Tunggu... -

Menulis apa saja, sepanjang memungkinkan. Lebih lengkap tentang saya, sila klik: http://henrinurcahyo.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cerita Panji, Harta Karun yang Terlupakan

23 Desember 2015   10:49 Diperbarui: 14 Juli 2016   07:09 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Henri Nurcahyo 

Cerita Panji? Budaya Panji? Apa itu? Ini pertanyaan yang seringkali muncul di kalangan masyarakat kebanyakan, khususnya anak-anak muda. Beberapa nama “Panji” yang dikenal masyarakat kebanyakan adalah Panji Pragiwaksono, seorang presenter televisi, pernah juga ada sinetron berjudul “Panji Manusia Milenium” yang diperankan oleh Primus. Nama Panji juga dikaitkan salah satu acara televisi “Panji Sang Petualang” atau “Panji Sang Penakluk”. Apa boleh buat, televisi memang jadi acuan masyarakat sekarang. Sementara generasi media cetak mengenal tokoh Panji Koming dari kartun di Harian Kompas. Mereka yang sudah berumur pernah kenal dengan tokoh komik Panji Tengkorak. Dan banyak lagi nama-nama Panji yang bertebaran selama ini.

Sebetulnya kata Panji itu sendiri adalah sebutan sebuah gelar. Gubernur Jawa Timur M. Noer (alm), namanya lengkapnya adalah Raden Panji Mohammad Noer. Sementara itu, kalau kata Panji diulang dua kali, menjadi Panji-Panji, itu bermakna bendera atau pataka atau umbul-umbul yang merupakan lambang kehormatan atau tanda kebesaran suatu institusi. Namun dalam Kamus Bahasa Jawa Kuna, ternyata kata Panji itu sama dengan Panji-panji yang berarti umbul-umbul atau bendera. (versi Mardiwarsito, 1987: 397).

Jadi sebutan Cerita Panji[1] itu adalah satu frasa, bukan hanya dimaknai sebagai Cerita tentang orang yang bernama Panji. Meski tokoh utama dari Cerita Panji memang bernama Panji, namun tidak semua orang bernama Panji lantas dikait-kaitkan dengan Cerita Panji. Bisa saja ada cerita lain yang sama-sama mempunyai tokoh utama bernama Panji, namun tetap saja itu tidak dapat disebut Cerita Panji. Sebaliknya, ada juga cerita yang sama sekali tidak menyebut nama Panji (dan Candrakirana) namun justru merupakan Cerita Panji.  

Cerita Panji adalah karya sastra anonim yang lahir sebagai suatu refleksi penyusunnya  terhadap perseteruan yang terjadi terus menerus antara kerajaan Janggala dan Panjalu yang masing-masing rajanya masih bersaudara. Kedua kerajaan ini pada mulanya menjadi satu dibawah kepemimpinan Raja Airlangga. Dalam Nagarakretagama dituliskan, didorong oleh cinta kasih Prabu Airlangga kepada dua puteranya yang saling bermusuhan, maka Airlangga lantas memutuskan membagi kerajaannya menjadi dua. Sri Maharaja Mapanji Garasakan memimpin Janggala, sedangkan Panjalu dibawah kekuasaan Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Utungga Dewa.   Permusuhan itu ternyata berlangsung terus menerus selama hampir 100 (seratus) tahun, sebagaimana prasasti bertarikh 966 Saka (1044 M) menyebutkan perseteruan antara Sri Maharaja Mapanji Garasakan dan Raja Panjalu yang baru berakhir pada tahun 1155 M ketika Janggala berhasil ditundukkan oleh Panjalu dibawah Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya sebagaimana tertulis dalam Prasasti Ngantang. Sebagai peringatan atas kemenangan Jayabhaya disusunlah kakawan Bharatayuda oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh.

Peristiwa selama puluhan tahun inilah yang nampaknya menimbulkan obsesi sehingga kemudian lahir Cerita Panji. Dibayangkan alangkah indahnya manakala terjadi penyatuan antara Jenggala dan Panjalu. Untuk mewujudkannya perlu dihadirkan tokoh rekaan dan alur cerita yang dapat menjembatani terciptanya kesatuan dan persatuan antara dua kerajaan tersebut. Tokoh yang mampu menyatukannya dipilih sebagai penjelmaan Dewa Wishnu dan Dewi Sri di dunia, yaitu Panji Inu Kertapati dan Dewi Candrakirana. Penyatuan keduanya menjadi lambang penyelamatan dua kerajaan dari ancaman kehancuran.[2]

Bagaimanakah yang dimaksud Cerita Panji itu sendiri? Dalam pemahaman secara mainstream, Cerita Panji dapat dikisah-singkatkan sebagai cerita yang berkisar mengenai percintaan Raden Panji Asmarabangun (Inu Kertapati atau Panji Kudawanengpati), putera mahkota kerajaan Jenggala, dengan Dewi Sekartadji (Galuh Candrakirana), puteri kerajaan Panjalu atau Kadiri. Namun jalinan kasih sepasang sejoli ini tidak berjalan mulus, banyak romantika berupa petualangan dan penyamaran hingga Cerita Panji kemudian melahirkan banyak versi dan varian berupa dongeng dan kisah-kisah lainnya. Meski pada akhirnya mereka berhasil menjadi sepasang suami isteri yang memerintah Kerajaan Kadiri, namun berbagai persoalan seakan tak pernah henti menimpa mereka sehingga justru semakin banyak melahirkan cerita-cerita baru lagi.

Tetapi dalam pemahaman yang lebih luas, Cerita Panji tidak hanya berurusan dengan Raden Panji dan Candrakirana, atau hanya berkisar mengenai kerajaan Janggala dan Panjalu. Cerita Sri Tanjung misalnya, dapat disebut sebagai cerita yang memiliki spirit Cerita Panji. Yaitu, kisah kasih yang terhalang, tentang kesetiaan seorang perempuan kepada pasangannya, dan perjuangan sang lelaki yang tak kenal takut menghadapi bahaya demi menunaikan sebuah tugas negara. Itu sebabnya, ketika Patih Sidopeksa akhirnya mengetahui isterinya tidak bersalah, dia kemudian memangku jenasah isterinya dalam posisi sangat mirip dengan Raden Panji Asmarabangun berkisah kasih dengan Candrakirana. Gambaran adegan inilah yang mengecohkan sebagaimana terdapat di relief Candi Surawana yang memang masih debatable.

 

Keistimewaan Cerita Panji

Lantas, apa istimewanya kisah percintaan Raden Panji dan Sekartaji ini? Bukankah banyak kisah lain yang serupa seperti Bangsacara Ragapadmi (Madura), Jayaprana Layonsari (Bali), Sangkuriang (Sunda), Rara Mendut (Jawa Tengah) atau juga kisah yang sudah mendunia yaitu Romeo dan Juliet. Dan masih banyak lagi cerita serupa yang tersebar di berbagai daerah dan mancanegara.  

Dibandingkan dengan cerita atau dongeng percintaan lainnya, Cerita Panji memang bukan dongeng yang biasa. Berikut ini adalah sejumlah keistimewaan Cerita Panji.

Pertama (1), kalau toh kisah induk dari Cerita Panji itu ada yang tidak mengenalnya, bukan tidak mungkin banyak yang pernah mendengar adanya dongeng Ande-ande Lumut, Timun Mas, Keong Mas, Enthit, Panji Laras, Golek Kencana dan sebagainya. Asal tahu saja, bahwa berbagai cerita yang selama ini dikenal sebagai dongeng anak-anak itu adalah bagian atau varian dari Cerita Panji. Inilah salah satu keistimewaan Cerita Panji dibandingkan dengan yang lainnya. Jadi kalau ada orang yang mengaku tidak mengenal Cerita Panji, sangat mungkin mereka mengenal atau pernah mendengar perihal dongeng-dongeng tersebut di atas. Dengan kata lain, banyak orang yang sebetulnya sudah tahu mengenai (sebagian) Cerita Panji namun mereka tidak menyadari bahwa yang mereka tahu itu adalah termasuk Cerita Panji.

Ke 2 (dua), Cerita Panji merupakan budaya populer yang didokumentasikan dalam berbagai media, yaitu naskah kuno, relief, tradisi lisan, sastra tulis dan seni pertunjukan. Bandingkan dengan naskah-naskah kuno lainnya yang hanya dikenal sebagai literatur di naskah lontar atau hanya dibukukan sebagai naskah kuno yang tersimpan rapi di museum atau perpustakaan.

Ke 3 (tiga) banyak pertunjukan rakyat yang menjadikan Cerita Panji sebagai bahan sajiannya, bahkan ada yang menjadikan Cerita Panji sebagai satu-satunya kisah yang disajikan. Beberapa contoh seni pertunjukan itu misalnya Wayang Topeng (Malang), Wayang Beber (Pacitan), Wayang Timplong (Nganjuk), Wayang Gedog, Wayang Krucil (Kediri), Wayang Thengul (Bojonegoro), Kethek Ogleng (Pacitan, Wonogiri), Jaranan (Trenggalek, Tulungagung), Reog Ponorogo (asal dari Ponorogo, yang menyebar kemana-mana), dan Lutung Kasarung (Jabar). Bahkan di Bali Cerita Panji menyebar dalam wujud berbagai kesenian seperti tari Legong Kraton Lasem, Drama Gong, Gambuh atau juga Bondres.

Ke 4 (empat), Cerita Panji merupakan cerita asli Indonesia yang bersumber dari kerajaan Kadiri dan Jenggala ini ternyata menyebar ke seluruh Jawa, Bali, Nusa Tenggara, menyeberang ke Sumatra, Kalimantan, bahkan hingga ke negara-negara Malaysia (semenanjung Melayu), Thailand, Kamboja, Laos, dan Myanmar.  Asal tahu saja, Cerita Panji malah lebih memasyarakat di Thailand, dikenalkan di bangku sekolah dan buku Cerita Panji itu sendiri ditulis oleh raja Thailand sendiri, yaitu Raja Rama. Di Thailand Cerita Panji dikenal sebagai Cerita Inao, berasal dari kata Inu Kertapati. “Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada hasil kesusasteraan yang bersemangat Jawa yang penyebarannya di seluruh Kepulauan Nusantara menyamai penyebaran Cerita Panji.” (Poerbatjaraka, 1968: 409-410) Bahkan sangat dimungkinkan sastra Panji merupakan satu-satunya karya sastra Indonesia yang hingga saat ini paling banyak dipelajari oleh berbagai bangsa di dunia.[3]

Ke 5 (lima), senada dengan hal itu maka guru besar Universitas Malaya, Abdul Rahman Kaeh, dalam seminar internasional Budaya Panji di Malang (2010) memberi kesaksian, bahwa: Orang Jawa boleh berbangga dengan Cerita Panji. Cerita ini memang asli kepunyaan mereka. Cerita-cerita seperti Ramayana, Mahabarata, Adiparwa, Wirataparwa, Kakawin Arjuna Wiwaha, Kakawin Smaradahana, Hikayat Seri Rama, Hikayat Sang Boma, dan sebagainya,  tidak dapat dikatakan asli kepunyaan mereka, kerana cerita-cerita tersebut walaupun telah digubah dan disesuaikan dengan lingkungan alam Jawa, tetapi kita masih dapat mengetahui negeri asalnya, iaitu India. Sebaliknya kalau kita mau mencari negeri asal Cerita Panji ini di tempat lain tentulah tidak mugkin, kerana cerita yang bersifat demikian hanya bisa kita temui di Jawa saja.[4]

Ke 6 (enam), dirunut dari aspek sejarah, kisah ini terjadi pada masa kerajaan Kadiri, namun justru muncul dua ratus tahun sesudah itu, yaitu pada masa kerajaan Majapahit.[5] Dari sini saja sudah memancing kajian sejarah dan aspek politik yang menarik diperbincangkan. Bahkan, mempersoalkan apakah Panji ini memang merupakan fakta sejarah atau hanya dongeng belaka, sudah menjadi bahan diskusi yang seru. Dalam bab tersendiri di buku ini diulas kaitan antara Cerita Panji dan aspek sejarah ini.

Ke 7 (tujuh), meski “hanya” berupa kisah percintaan dua anak manusia, seorang arkeolog asal Jerman, Lydia Kieven, ketika meneliti  20 (dua puluh) candi di Jawa Timur dan Jawa Tengah, sebagian besar ternyata terkait dengan Cerita Panji.[6] Meski tidak berarti bahwa 20 artefak itu otomatis berarti Panji karena Lydia meneliti sosok yang mengenakan topi (tekes) sebagaimana dikenakan oleh Panji. Sementara Agus Aris Munandar dan Ninie Susanti mendeskripsikan ada 10 (sepuluh) bangunan kepurbakalaan dari era Majapahit yang mengandung relief Cerita Panji.[7] Pertanyaannya kemudian, apakah ada sesuatu yang luar biasa sehingga sampai sebegitu banyak bangunan kepurbakalaan yang mengabadikan Cerita Panji? Lebih-lebih, semua artefak itu ternyata dibangun pada masa Majapahit.

Ke 8 (delapan), pada zamannya Cerita Panji ini sedemikian populer seiring dengan suburnya berbagai jenis kesenian yang membawakannya dimana-mana. Maka ada saat-saat dimana Cerita Panji sanggup bersaing dengan cerita klasik Mahabarata dan Ramayana. Cerita Panji adalah cerita alternatif yang tak kalah menariknya dengan kisah dari Negeri India itu. Cerita Panji justru hadir sebagai bentuk perlawanan (counter culture) terhadap budaya India.

Keistimewaan yang ke 9 (sembilan) bahwa Cerita Panji adalah sastra klasik tingkat dunia yang asli berasal dari Indonesia, khususnya dari Jawa Timur. Meski beragam Cerita Panji yang beredar namun semangatnya tetap sama yaitu pengembaraan dan kemenangan sang pahlawan yang hidup dalam budaya Jawa Kuna, bukan budaya yang berasal dari India. Lydia Kieven bahkan menyebut bahwa sastra Panji adalah salah satu contoh khas untuk kreativitas pada zaman Jawa Timur. Naskahnya atau versi lisan diciptakan pada zaman itu dan tidak berdasarkan ada sastra India. Cerita Panji adalah bukti kreativitas budaya Jawa Timur.[8]

Ke 10 (sepuluh), bahwa sesungguhnya Cerita Panji bukan hanya bercerita mengenai kisah percintaan belaka. Filosofi Cerita Panji adalah mengenai “mencari dan menemukan”, seperti kisah tentang rembulan dan matahari yang digambarkan bagaikan sepasang kekasih. Bulan adalah lambang kesetiaan dan  ketulusan cinta. Janji bulan untuk tetap setia pada matahari.   Jadi Panji adalah lambang siang, matahari, lelaki; dan Candrakirana adalah lambang malam, bulan dan asas keperempuanan semesta. Berbagai varian Cerita Panji selalu mengisahkan upaya pencarian yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, penuh dengan halang rintang, termasuk harus melakukan penyamaran. Namun usaha keras itu akhirnya tidak sia-sia. Cerita Panji mengajarkan perihal kesetiaan dan usaha keras untuk menjaganya, meski di saat yang sama kesetiaan itu sendiri memiliki tafsir yang berbeda.

Ke 11 (sebelas), Cerita Panji itu lahir lantaran masyarakat pada saat itu merindukan bersatunya dua kerajaan, Jenggala dan Kadiri yang dipimpin oleh dua raja bersaudara yang sama-sama keturunan Airlangga. Pada mulanya, ketika Airlangga hendak mengundurkan diri sebagai Raja Jenggala lantaran usia lanjut, dia kebingungan lantaran memiliki dua orang putera yang dianggap sama-sama berhak menjadi Raja. Sementara puteri sulungnya, Dewi Kilisuci,  tidak berminat menjadi pewaris dan memilih bertapa sebagai Bikhu. Singkat cerita, meski kerajaan kemudian sudah dibagi dua untuk kakak beradik, namun keduanya masih sering berseteru karena menganggap tidak adil. Dan hal ini berlangsung hingga keturunan ketiga. Maka lahirnya Cerita Panji adalah sebuah simbolisme agar kedua bersaudara itu berdamai dengan cara menjodohkan masing-masing putera dan puterinya.[9]

Bukankah dalam sejarah seringkali terjadi “pernikahan politik” demi bersatunya dua kerajaan? Pada titik inilah maka Cerita Panji memiliki makna sebagai simbolisme penyatuan dua pihak yang berseteru,  bukan hanya dua kerajaan saja. Bisa saja dimaknai antara Bonek dan Arema, antara Bebotoh Persib dan Jack Mania, antara dua suku, dua kampung, dua organisasi bahkan dua negara atau juga antara KIH dan KMP, dan sebagainya.  

Ke 12 (dua belas). Cerita Panji berkembang pesat bersamaan dengan tumbuhnya kerajaan Majapahit menjadi kerajaan klasik terbesar dan terakhir di nusantara. Majapahit sebagai kerajaan besar yang berkuasa di kepulauan tentunya dihormati oleh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara. Pada masa itulah Kisah Panji secara berangsur-angsur menyebar berbarengan dengan keharuman nama Majapahit di Asia Tenggara. Penduduk wilayah Asia Tenggara dan semenanjung tentu rela mengadopsi Kisah Panji sebagai salah satu khasanah sastra mereka. Jadi Kisah Panji sebenarnya adalah simbol kejayaan Majapahit itu sendiri, adalah simbol pencapaian peradaban kedaton-kedaton di Jawa bagian timur dalam era Majapahit berkuasa.[10]

Ke 13 (tiga belas). Ternyata, meski sudah terkenal ternyata tidak diketahui siapa pencipta Cerita Panji.  Bandingkan dengan Negara Krtagama (Mpu Prapanca),  kakawin Sutasoma (Mpu Tantular), kakawin Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa), Serat Dewa Ruci (Empu Siwamurti). Meskipun Kitab Pararaton dan Kidung Sudamala juga tidak diketahui penulisnya, namun Cerita Panji merupakan mahakarya susastra yang digubah secara bersama-sama oleh masyarakat Jawa Kuna, bukan oleh satu dua Mpu. Kisah Panji telah mengalami penambahan dan perluasan narasi yang berbeda-beda sesuai dengan selera pujangga penggubahnya.[11] Bahkan sampai sekarang pun Cerita Panji ini masih terus berkembang dengan versi-versi baru yang digubah sendiri dalam pementasan Wayang Topeng di Malang dan juga beberapa novel populer.   

Ke 14 (empat belas). Berbeda dengan naskah-naskah kuno tersebut di atas, popularitas Cerita Panji diceritakan dalam berbagai bentuk seni, termasuk cerita rakyat yang menandakan cerita ini juga tersebar di kalangan rakyat dan bukan hanya menjadi karya intelektual yang hanya dikonsumsi kalangan elit dan terbatas. Cerita Panji tidak hanya berhenti pada naskah namun berkembang sebagai cerita anak-anak yang juga disukai orang kebanyakan.

Ke 15 (lima belas). Perpustakaan Nasional saat ini sudah menyimpan 80 naskah Panji dari berbagai tradisi (Jawa, Bali, Lombok dan Melayu) meski yang dalam kondisi baik hanya setengahnya. Ternyata masih sangat banyak naskah Panji lain yang belum tersimpan, bahkan mencapai jumlah ratusan naskah. Pendataan yang pernah dilakukan sampai ditemukan lebih dari 200 naskah Panji yang sebagian besar tersimpan di Belanda. Menurut J.J. Ras, adanya begitu banyak naskah tentang Panji karena ada anggapan Cerita Panji dianggap sebagai sastra ritual, yang setiap kali dikarang manakala ada perkawinan antara putera-puteri kerajaan di daerah Melayu.

Ke 16 (enam belas), terkait dengan sekian banyak versi Cerita Panji maka seringkali satu sama lain menyajikan data yang berbeda. Bahkan versi dengan judul yang sama ternyata isinya juga berbeda. Justru kelebihan Cerita Panji itu ada pada perbedaannya. Misalnya saja, siapakah yang lebih tua, Raja Janggala atau Kadiri, dalam cerita yang berbeda bisa terbolak-balik. Ada yang menyebut Raden Panji Asmarabangun adalah cucu raja Airlangga, namun dalam cerita lainnya merupakan keturunan keempat. Bahkan, Purbotjaroko malah menyebut bahwa Raden Panji  itu putera Kediri, sedangkan Candrakirana adalah puteri Raja Jenggala. Hal ini berkebalikan dengan Cerita Panji pada umumnya. Tetapi meski datanya berbeda, toh substansi ceritanya tetap sama saja.

Ke 17 (tujuh belas). Membaca Cerita Panji yang menyebut nama-nama kerajaan yang secara faktual memang pernah ada, juga sejumlah nama yang juga tercatat dalam sejarah, membuat pembaca mudah terhanyut seperti sedang membaca kisah sejarah. Padahal, sebagaimana disampaikan oleh Dwi Cahyono, Cerita Panji telah banyak mengalami transformasi dalam kurun waktu panjang. Ada tokoh dan nama kerajaan yang campuraduk dalam kurun waktu yang sama. Kesejarahan yang anakronis dicampur-aduk, bukan kronologis.[12]

Ke 18 (delapan belas). Seiring dengan dilangsungkannya Festival Panji oleh Perpustakaan Nasional (Oktober 2014) maka Perpusnas mengusulkan salah satu naskah panji, yakni Panji Anggraeni yang berada di Palembang diajukan ke UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) sebagai ikon memori bangsa dan dunia bagi Indonesia (Memory of Nation and Memory of The World). Hal ini merupakan sebuah inisiatif internasional yang diluncurkan UNESCO untuk menjaga warisan suatu bangsa, terutama berbentuk teks tertulis yang berisi nilai-nilai kemanusiaan, dari ancaman amnesia kolektif, kelalaian, kerusakan akibat waktu dan kondisi iklim, dan perusakan yang tidak disengaja. Tetapi dalam forum seminar yang diselenggarakan dalam acara yang sama, Agus Aris Munandar dan Ninie Susanti dalam makalahnya berpendapat, Kisah Panji dalam keberagamannya itulah yang secara bersama-sama menjadi milik bangsa Indonesia. Keseluruhan Kisah Panji dan berbagai keturunannya itulah yang harus diajukan sebagai Memory of the World (MOW)milik bangsa Indonesia,jadi tidak hanya satu atau dua naskah Panji saja.

Ke-19 (sembilan belas), Dewan Kesenian Jawa Timur  (DK Jatim) sudah pernah mengusulkan Cerita Panji sebagai ikon provinsi Jawa Timur. Tahun 2008 sudah digagas Program Konservasi Budaya Panji. Namun sayang sekali usulan itu tidak pernah bergaung lagi dan Pemerintah Provinsi Jatim agaknya belum menganggapnya hal itu penting. Yang jelas, Pemerintah Kabupaten Kediri sudah mengklaim sebagai Bumi Panji, sedangkan Kota Kediri menyebut identitasnya sebagai Kota Panji. Bagaimana realisasinya, itu satu hal yang layak dibicarakan tersendiri.

Dan kalau mau alasan lain untuk menguatkannya, berikut ini  simpulan (theorema) yang disampaikan Agus Aris Munandar dalam makalahnya di Seminar “Panji dalam Berbagai Tradisi Nusantara” di Yogyakarta bulan Mei 2014,[13] yang sekaligus ditambahkan dalam urutan keistimewaan Cerita Panji.

Ke-20 (dua puluh), Kisah Panji memiliki nilai universal luar biasa, yaitu menjadi acuan kepahlawanan, penghargaan kemanusiaan, mengetengahkan etika pergaulan, dan diplomasi pergaulan. Hal itu terlihat dari sepak terjang Raden Inu atau Panji dalam kisah-kisahnya, tokoh tersebut pada dasarnya selalu menjunjung nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan.

Ke-21 (dua puluh satu), Kisah Panji mewakili suatu mahakarya (masterpiece) kejeniusan kreatif manusia sebab digubah oleh para pujangga Jawa kuno dengan tema dan lokasi cerita di Tanah Jawa sendiri, tidak mendapat pengaruh asing, namun memengaruhi kebudayaan masyarakat Asia Tenggara secara luas.

Ke-22 (dua puluh dua), uraian Kisah Panji memberikan gambaran tentang tahapan-tahapan penting dari sejarah kehidupan manusia. Kisah Panji menjelaskan peradaban masyarakat Jawa Kuno antara abad  ke 14-15 dan merupakan dokumentasi sejarah kebudayaan di Asia Tenggara secara luas.

Ke-23 (dua puluh tiga), secara langsung atau nyata terkait dengan suatu peristiwa atau tradisi kehidupan: Kisah Panji menjelaskan perihal tradisi perjodohan yang dikenal meluas di Asia Tenggara dengan cara (a) dijodohkan (dipertunangkan), (b) memilih sendiri, (c) pasangan merupakan hadiah sayembara. Diuraikan juga adanya tradisi pergantian kuasa raja-raja secara damai dan sejahtera sebagaimana yang didambakan dalam sejarah kebudayaan Asia Tenggara.

Ke-24 (dua puluh empat), memiliki autentisitas karya: Kisah Panji adalah otentik, tida menjiplak atau meniru karya-karya lain, walaupun terdapat tema universal tentang percintaan, namun keasliannya tetap tampil dan hal itu diakui oleh masyarakat yang mengapresiasinya.

Ke-25 (dua puluh lima), dapat dibandingkan dengan karya lain sezaman (Pararaton, Sri Tanjung, Sudamala dan Calon Arang), maka Kisah Panji memunyai kekhususan tersendiri.

Dan kalau mau dicari lagi, masih ada lagi sejumlah keistimewaan Cerita Panji yang dapat disebutkan di sini. Jadi, butuh alasan apalagi untuk menjadikan Cerita Panji sebagai ikon budaya provinsi Jawa Timur? Syukur-syukur kalau memang dapat diterima sebagai Memory of Nationatau, apalagi, Memory of the World.

Sedemikian istimewanya Cerita Panji, namun ternyata masih diabaikan begitu saja. Cerita Panji adalah harta karun bangsa Indonesia yang selama ini ditelantarkan. Ironisnya, sampai dengan saat ini tidak ada 1 (satu) bukupun yang menjelaskan apa itu Cerita atau Budaya Panji, kecuali buku ini “Memahami Budaya Panji”. Berminat? Silakan kontak langsung penulisnya melalui emal: henrinurcahyo@gmail.com, atau SMS/WA: 0812 3100 832. Salam Panji.

 

 

[1] Karena itu saya menulisnya Cerita Panji (dengan huruf C besar, bukan c kecil).

[2] Bambang Pujasworo, 2014: Cerita Panji sebagai sumber inspirasi penciptaan seni pertunjukan. Dalam Prasetya, 2014

[3] Bambang Pudjasworo, 2014: Cerita Panji sebagai Sumber Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan. (Dalam Prasetya, St. Hanggar B; Prosiding Seminar Tokoh Panji Indonesia, Depdikbud dan ISI Yogyakarta.

[4] Kaeh, Abdul Rahman: “Cerita Panji, Sumber Kajian yang Masih Menarik”, dalam Panji Pahlawan Nusantara, editor Henri Supriyanto, belum diterbitkan.

[5] Perihal kapan Cerita Panji tercipta masih menjadi perdebatan. Ada yang bilang sebelum Majapahit sudah ada. Bahkan Puteri Gayatri, isteri Raden Wijaya konon disebut-sebut sebagai pengagum berat dan mempersonifikasikan diri sebagai Dewi Candrakirana.

[6] Lydia Kieven meneliti hal ini sebagai bahan kajian disertasi doktoralnya di Sydney University dengan judul: “Following the Cap-Figure in Majapahit Temple Reliefs”

[7] Agus Aris Munandar dan Ninie Susanti. “Makna Kisah Panji”. Makalah Seminar Cerita Panji sebagai Warisan Dunia. Perpustakaan Nasional, 28-29 Oktober 2014.

[8] Kieven, Lydia, 2014. “Simbolisme Cerita Panji dalam Relief-Relief di Candi Zaman Majapahit dan Nilainya pada Masa Kini”, makalah dalam seminar di Perpusnas, Oktober 2014.

[9] Tafsir mengenai hubungan saudara ini bisa bermacam-macam. Ada yang menyebut saudara sepupu, namun ada yang mengatakan bahwa mereka merupakan keturunan ketiga. Sebagai karya sastra, hal ini tidak penting dipersoalkan.

[10] Agus Aris Munandar dan Ninie Susanti. “Makna Kisah Panji”. Makalah Seminar Cerita Panji sebagai Warisan Dunia. Perpustakaan Nasional, 28-29 Oktober 2014.

[11] opcit

[12] Nurcahyo, Henri (ed), 2009: Konservasi Budaya Panji. Dewan Kesenian Jawa Timur, hal 9.

[13] Munandar, Agus Aris (2014): Panji dan para Kadeyan Mengembara dalam Kebudayaan Nusantara. Dalam Prosiding Seminar Tokoh Panji Indonesia: Panji dalam Berbagai Tradisi Nusantara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun