Oleh : Henri Nurcahyo
[caption id="attachment_348901" align="aligncenter" width="560" caption="Foto: Surya/Anas Miftakhudin"][/caption]
Beberapa waktu yang lalu diberitakan ditemukan sebuah Alqur’an berukuran raksasa di Porong, Sidoarjo. Mushaf tersebut ditemukan awal Desember 2014 di desa Glagah Arum, Kec. Porong, Sidoarjo, berukuran 120x200 cm, berat 100 kg lebih dengan tebal 478 halaman. Menurut pemiliknya, benda itu tiba-tiba jatuh di kamarnya. (Baca)
Hari Kamis (29/1/15) beredar berita bahwa “MUI Siap Bakar Alquran Raksasa” (Harian Pagi Surya, Kamis, 29 Januari 2015). Berita yang sama juga beredar di media daring (online). Keesokan harinya (Jum’at 30/1/15) berita tersebut berlanjut lagi di koran yang sama dengan tambahan pernyataan dari NU, Muhammadiyah dan Anshor. (baca juga)
Menurut MUI, terdapat banyak kesalahan pada ayat dan harakatnya. Lebih fatal lagi, katanya, ada indikasi untuk mencari keuntungan pribadi. Dalam rapat MUI dengan Forpimka Porong dan Bagian Kesra Pemkab Sidoarjo, diputuskan bahwa Alqur’an itu akan dibakar di pendopo Kabupaten Sidoarjo. Pertimbangannya, kesalahan yang ada dalam mushaf tak bisa ditolerir lagi.
Dalam rapat tersebut juga diketahui, bahwa asal mula Alqur’an itu ternyata bukan jatuh dari plafon rumah sebagaimana pengakuan pemiliknya, melainkan dibeli dari seseorang. Rapat menyimpulkan, ada unsur penipuan dengan maksud untuk mencari keuntungan pribadi.
Sehubungan dengan hal itu dengan ini saya menyampaikan tanggapan sebagai berikut:
1. Secara dini perlu ditegaskan, bahwa saya sama sekali tidak bermaksud menyalahkan pihak MUI Kabupaten Sidoarjo, NU, Muhammadiyah, Anshor dan juga para Ulama yang terhormat. Sebagai institusi keagamaan, saya dapat memahami sepenuhnya bahwa MUI bersikap demikian. Barangkali dalam rapat tersebut tidak ada pihak yang menyuarakan hal ini dari sisi yang berbeda. Dan saya akan menyampaikan pendapat dari sudut pandang yang berbeda itu. Sebelumnya, mohon maaf kalau saya keliru. Ini hanya sekadar sumbang saran.
2. Terlepas dari asal usulnya benda tersebut, saya berpendapat bahwa Alqur’an raksasa itu adalah sebuah manuskrip yang menarik, eksklusif dan langka. Perlu passion dan kerja keras untuk dapat menyelesaikan karya setebal ratusan halaman itu. Tidak sembarang orang mampu melakukan pekerjaan yang sulit ini. Saya sangat menghargainya sebagai sebuah karya seni yang artistik, apapun kualitasnya. Dalam kesenian, karya ini termasuk Seni Kaligrafi. Disamping itu, benda ini adalah ini adalah artefak filologi yang layak dijadikan bahan kajian dan penelitian.
3. Saya juga memahami bahwa MUI sampai mendatangkan beberapa tenaga ahli (penghafal Alqur’an) untuk mengoreksi dan menelitinya. Namun yang juga perlu diketahui, bahwa saat ini banyak sekali Alqur’an yang ditulis dengan tangan. Menurut buku “Katalog Naskah Kuno di Jawa Timur” (Balai Bahasa Jawa Timur, 2014) sudah ditemukan sebanyak 90 (sembilan puluh) Alqur’an tulis tangan yang tersimpan di beberapa museum di Jawa Timur, sebagian besar tersimpan rapi di Museum Mpu Tantular Jatim, selebihnya ada di Museum Kraton Sumenep, dan perseorangan. (Silakan dicek sendiri dan ditanyakan Kepala Museum Mpu Tantular). Pertanyaannya, apakah selama ini MUI juga sudah meneliti manuskrip yang (minimal) tersimpan di museum Mpu Tantular tersebut? Maaf beribu maaf, saya meragukan hal ini. Kalau toh sudah, mengapa tidak ada semacam sertifikat (atau apalah namanya) bahwa Alqur’an tulis tangan itu sudah lulus uji dari MUI? Kalau toh dianggap salah, apakah juga perlu dibakar?
4. Saya berusaha memahami kekhawatiran MUI bahwa Alqur’an yang banyak salah ini akan meresahkan masyarakat dan semacamnya. Tetapi yang perlu dipertimbangkan, bahwa Alqur’an ini adalah benda satu-satunya, murni buatan tangan, bukan hasil cetakan pabrik sehingga tidak beredar luas di masyarakat sebagai bahan bacaan dalam jumlah banyak. Jadi, tidak beralasan kalau akan menyebabkan keresahan karena kesalahan-kesalahan penulisan, sebab masyarakat tidak mungkin akan membaca benda sebesar itu. Mereka hanya melihatnya sebagai barang unik dan menarik saja. Jangan samakan benda ini dengan barang cetakan pabrik.
5. Karena itu saya menyarankan supaya Alqur’an ini disimpan di Museum Mpu Tantular saja sebagai artefak filologi untuk melengkapi koleksi yang sama yang sudah ada di sana. Sebagai benda pajangan di museum (sekali lagi: hanya pajangan), tidak mungkin masyarakat atau pengunjung akan membuka-buka barang sebesar itu. Kalau masih kuatir juga, masukkan Alqur’an ini ke dalam kotak atau ruangan kaca, dan cantumkan keterangan (kalau perlu semacam SK) bahwa Alqur’an ini mengandung banyak kesalahan. Supaya masyarakat dapat memahami benda ini sebagai kaya seni dan benda langka yang unik, bukan sebagai kitab suci atau bahan bacaan.
6. Kepala Museum Mpu Tantular, dalam tanggapannya sebagaimana dimuat di Surya.co.id (kliping terlampir) menyatakan: (a) “Pemeriksaan yang kami lakukan menyangkut bahan kertasnya, pemotongan kertas, dan jenis tinta, kami simpulkan mushaf itu bukan barang bersejarah atau langka,” cetusnya. (baca)
Tanggapan saya: Bagaimanapun benda ini adalah satu-satunya, artinya, dapat disebut langka, karena tidak diproduksi massal. Soal bersejarah apa tidak, menurut saya, posisinya sama saja dengan koleksi puluhan Alquran tulisan tangan yang sekarang ini sudah tersimpan di museum Mpu Tantular. Apakah koleksi puluhan Alqur’an tulisan tangan milik Museum Mpu Tantular yang sudah ada sekarang ini juga termasuk kuno dan bersejarah?
(b) Kepala Museum Mpu Tantular juga menyatakan: “Secara pribadi, (Alquran raksasa) ini bagus. Cuma eman (sayang) kok ada unsur rekayasa dan penipuan. Kalau yang seperti itu masuk museum ini sama artinya kami mengakomodasi benda hasil tindak kriminal. Itu kan sudah diakui oleh penemunya juga bahwa ada upaya rekayasa untuk tujuan komersial semata. Itu kan tindak penipuan.”
Tanggapan saya: Saya tidak sependapat kalau benda ini disimpan di museum lantas dianggap mengoleksi benda hasil kriminal. Jujur saja, apakah semua koleksi museum dijamin tidak ada yang merupakan hasil kriminal? Saya tidak menuduh, tapi tidak yakin sepenuhnya. Mungkin saja hal itu terjadi (maaf kalau saya keliru). Jadi sebaiknya jangan dilihat asal-usulnya, tetapi lihatlah kondisinya yang sekarang ini. Bandingkan dengan ilustrasi kasus ini (sekali lagi, ini hanya ilustrasi, bukan kejadian sebetunya): Ada sebuah arca bernilai sejarah ditemukan oleh seseorang, kemudian arca dikomersilkan dengan cara membuka kotak sumbangan. Dan dia ngarang cerita benda itu jatuh dari langit atau didapat melalui wangsit setelah bertapa di gua. Kemudian orang itu ditangkap polisi karena penipuan. Nah, bagaimana dengan nasib arca purbakala tersebut? Apakah harus dimusnahkan? Bukankah arca itu juga dapat disebut “hasil tindak kriminal?”
(c). Kepala Museum (Edi Irianto) tak memungkiri munculnya mushaf Alquran raksasa itu menjadi inspirasi dari pihaknya untuk memiliki Alquran dalam ukuran raksasa tersebut. Untuk memenuhi keinginan mengoleksi Alquran raksasa, Edi menyatakan pihaknya akan memesan produk dari Sumenep Madura.
Tanggapan saya: Dalam hal ini Bapak Edi sudah tidak konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Kalau dia kemudian memesan produk dari Sumenep, bukankah barang yang akan dipesan itu juga tidak termasuk kuno dan bersejarah?
(d) Tambahan saya: Justru karena benda ini sudah menghebohkan masyarakat dan sempat akan dibakar maka akan menjadi “bersejarah” karena punya cerita sendiri. Sertakan saja kliping koran dan berita-berita kontroversi mengenai benda ini sehingga masyarakat akan belajar sendiri. Bisa jadi, sekian puluh tahun kemudian, cerita soal Aqur’an yang katanya tiban ini malah jadi menarik, unik dan memiliki nilai historis tersendiri.
7. Terakhir, selama ini banyak naskah penting Nusantara tersimpan di luar negeri dan dikoleksi masyarakat yang terancam hilang dan rusak. Karena itu dengan menyerahkan koleksinya ke museum akan menjadi koleksi pusaka (heritage) yang sangat berharga dan bermanfaat untuk dijadikan sarana penelitian dan kajian akademik. Saya yakin, kalau Museum Mpu Tantular memiliki koleksi Alqur’an yang menghebohkan ini, maka masyarakat akan berbondong-bondong ingin menyaksikannya dengan tertib. Tidak perlu ada penjagaan polisi segala. Dan ini berarti juga sekaligus mendorong mereka mengunjungi museum Mpu Tantular. Tentu saja mereka pasti akan juga menyaksikan koleksi yang lainnya, bukan hanya yang satu itu. Nah, mengapa hal ini tidak diperhitungkan?
Demikian pendapat saya yang sama sekali tidak bermaksud untuk membuka konfrontasi dengan pihak manapun, terutama dengan MUI Kabupaten Sidoarjo. Mohon maaf manakala ada hal-hal yang tidak berkenan dan mungkin menyingggung pihak-pihak tertentu dalam tulisan saya ini.
Sidoarjo, 31 Januari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H