Reuters Institute dengan Universitas Oxford (dalam Saptoyo dan Galih, 2022) pernah melakukan riset tentang pola konsumsi berita dan pasar digital global termasuk di Indonesia. Dalam riset tersebut dihasilkan data bahwa masyarakat lebih cenderung memilih media online dan sosial sebagai sumber berita paling populer. Datanya adalah sebesar 88% dari media online, 68% dari media sosial, 57% dari televisi, dan 17% dari media cetak seperti koran, majalah, dan sejenisnya. Berdasarkan data tersebut artinya media online dan sosial ini sangatlah mendominasi pola konsumsi berita masyarakat. Â
Deuze (dalam Widodo, 2020, h.27) mengungkapkan bahwa terdapat empat trend yang berhubungan dengan kebiasaan orang dalam mengakses informasi berita. Pertama, membaca. Dalam hal ini, khalayak memang lebih memilih membaca melalui online karena sifatnya yang fleksibel kapan saja, dimana saja, serta topik yang diberikan langsung up to dated. Kedua, menonton. Maksudnya adalah khalayak semakin didekatkan pada aspek penyuntingan gambar dan video berkecepatan tinggi.Â
Lalu, mendengarkan. Khalayak atau audiens kini bukan lagi mendengarkan radio, tetapi secara online. Biasanya hal ini sangat berkaitan dengan konten audio visual. Terakhir, multitasking. Artinya adalah  khalayak zaman sekarang adalah orang-orang yang sering mengonsumsi informasi secara bersamaan. Misalnya, mendengarkan televisi sambil bermain gawai untuk berselancar di internet. Artinya, ada dua kegiatan langsung yang dilakukan secara bersamaan.Â
Arti dari Jurnalisme MultimediaÂ
Kehadiran berbagai platform berita online atau sosial ternama dan terpercaya di internet sekarang tentu memiliki latar belakang sejarah di belakangnya. Nama-nama situs berita seperti Detik.com, Kompas.com, Tempo.co, Liputan6.com, Tirto.id, dan masih banyak lagi tentu sudah sangat familiar di keseharian kita untuk mendapatkan informasi berita yang aktual dan faktual.Â
Situs-situs berita itu termasuk dalam istilah jurnalisme multimedia. Artinya, jurnalisme yang mengkombinasikan antara teks, foto, video, audio, dan interaktivitas di situs website dengan format non-linear (Widodo, 2020, h.24). Tujuannya untuk menyajikan berita atau informasi secara menarik dan informatif bagi khalayak.Â
Berkaitan dengan hal di atas, konvergensi juga ikut disinggung di dalamnya. Konvergensi yakni peningkatan kerjasama dan kolaborasi antara newsroom media yang sebelumnya terpisah menjadi bersatu. Kolaborasi ini sangatlah penting karena mengingat media cetak dan penyiaran seperti cara konvensional dahulu perlu berjalan beriringan dengan media online zaman sekarang.Â
Mengapa Jurnalisme Multimedia bisa Lahir?
Kehadiran internet ternyata membawa perubahan signifikan dalam lanskap industri media. Di Indonesia sendiri, internet ini bermula pada tahun 1990-an oleh beberapa nama yang kerap disebut di awal sejarah internet di Indonesia. Mereka adalah Rahmat M. Samik Ibrahim, Suryono Adisoemarta, Onno W. Purbo, Putu Surya, Robby Soebiakto, dan masih ada beberapa lagi (Widodo, 2020, h.43).Â
Kini, angka penetrasi internet di Indonesia pun semakin melejit. Survei APJII pada tahun ini mencatat bahwa angka penetrasi internet telah mencapai 78,19% atau 215.626.156 jiwa dari total populasi 275 juta jiwa. Menurut Muhammad Arif, ketua APJII (2023), angka penetrasi ini meningkat 1,17% dari periode sebelumnya. Artinya, tuntutan untuk menyediakan konten dan informasi berbasis multimedia sangatlah tinggi untuk sekarang ini. Terlebih lagi dengan data di atas tentang pola konsumsi berita online oleh masyarakat sekarang.  Â
Sepak Terjang Jurnalisme Multimedia di IndonesiaÂ
Terdapat beberapa catatan sejarah yang menjadi pionir lahirnya industri media online di Indonesia. Republika online atau Republika.co.id tayang perdana pada 17 Agustus 1994 atau setahun pasca Harian Republika terbit. Pasca itu, Kompas online yang memiliki nama kompas.co.id juga rilis yakni pada tanggal 14 September 1995. Tiga tahun berselang, namanya pun berubah menjadi Kompas.com. Dalam hal ini, Republika dan Kompas online adalah generasi pertama media online di Indonesia yang kontennya hanya memindahkan halaman edisi cetak ke internet (Widodo, 2020, h.44). Pasca itu, mulai muncul platform lain seperti tempointeraktif.com, Bisnis Indonesia.com, dan Waspada.co.id.
Akan tetapi, lanskap media online yang statis mulai berubah sejak kemunculan detik.com pada 9 Juli 1998 oleh 4 sekawan. Mereka adalah Budiono Darsono, Yayan Sopyan, Abdul Rahman dan Didi Nugrahadi (Widodo, 2020, h.44). Dari sinilah, mulai muncul situs-situs berita yang terjun ke bisnis dotcom. Namun begitu, bisnis ini tidak berjalan mulus sesuai ekspektasi.Â
Memasuki tahun 2002, satu per satu media berguguran karena tidak mampu menutupi biaya operasional. Ada beberapa media yang bahkan harus melakukan PHK terhadap sejumlah karyawannya. Hanya ada dua media besar yang masih bertahan dengan kokoh yakni Kompas.com dan tempointeraktif.com kala itu karena masih ditopang oleh bisnis media induknya di media cetak.Â
Badai yang menerjang sejumlah media ini pun perlahan mereda. Menurut Widodo (2020, h.45-46), pada tahun 2004 muncullah kapanlagi.com, sebuah situs hiburan. Lalu, pada tahun 2006 dan 2008, MNC dan Grup Bakrie menciptakan okezone.com dan vivanews.com. Persaingan di dunia digital pun semakin ketat sehingga tidak tanggung-tanggung media seperti Kompas.com dan Tempointeraktif.com juga ikutan berbenah. Hingga akhirnya, tren ini pun terus melaju hingga User Generated Content (UGC) seperti Kompasiana.com.
Tantangan Jurnalisme Multimedia Hari Ini
Kendati eksistensinya semakin memuncak dan dibutuhkan di era kini, tetapi jurnalisme multimedia tetap memiliki sejumlah tantangan yang perlu dihadapi. Pertama, persoalan terkait etika jurnalistik. Misalnya, judul berita yang marak mengandung clickbait untuk menarik minat audiens dengan mengusik rasa penasaran yang timbul karena informasinya tidak utuh dan cenderung ambigu. Hidayat (2019, h.8), juga menyebutkan bahwa tujuan utama dari hal ini adalah mengarahkan pengguna media online agar statistik kunjungan meningkat yang selanjutnya digunakan untuk memperoleh pendapatan melalui iklan.Â
Kemudian, minimnya verifikasi karena faktor kecepatan berita yang harus segera tayang agar tidak ketinggalan dari media yang lain. Lalu, persaingan dengan pelaku content creator yang juga memberikan informasi yang sama tentang media arus utama. Artinya, kini konsumen pun sudah bisa bertindak sebagai produsen informasi sehingga media tidak lagi menjadi opsi utama dalam hal sumber informasi.Â
Terakhir, hal yang cukup berat berkaitan tantangan ini adalah tingkat kepercayaan masyarakat sendiri terhadap media. Menurut hasil riset Reuters (dalam Saptoyo dan Galih, 2022), kepercayaan keseluruhan masyarakat Indonesia pada berita media massa masih rendah yakni 39%. Persentase itu lebih rendah dari rata-rata global sebesar 42% (Pahlevi, 2022). Artinya, masih ada PR yang begitu besar dari masing-masing media untuk menyajikan berita yang independen, tidak terpengaruh dari politik atau pemerintahan yang ada, serta faktual sebagaimana adanya. Sebab, rasa percaya dari publik terhadap media adalah kunci penting bagaimana media bisa terus bertahan dan diandalkan oleh masyarakat.Â
Sumber:Â
APPJI. (2023, Maret 10). Survei apjii pengguna internet di indonesia tembus 215 juta orang. Diakses dari https://apjii.or.id/berita/d/survei-apjii-pengguna-internet-di-indonesia-tembus-215-juta-orangÂ
Hidayat, Y. D. (2019). Clickbait di media online indonesia. Jurnal Pekomnas IV(1), 1-10.Â
Pahlevi, R. (2022, 16 Juni). Tingkat kepercayaan responden di asia pasifik terhadap berita media massa 2022. Databoks katadata.co.id. Diakses dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/06/16/kepercayaan-warga-ri-terhadap-media-massa-tergolong-rendahÂ
Saptoyo, R.D.A, & Galih, B. (2022, Juni 17). Survei reuters: 68 persen masyarakat indonesia mengakses berita dari medsos. Kompas.com. Diakses dari https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/06/17/153126682/survei-reuters-68-persen-masyarakat-indonesia-mengakses-berita-dari?page=allÂ
Widodo, Y. (2020). Jurnalisme Multimedia. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI