Akan tetapi, lanskap media online yang statis mulai berubah sejak kemunculan detik.com pada 9 Juli 1998 oleh 4 sekawan. Mereka adalah Budiono Darsono, Yayan Sopyan, Abdul Rahman dan Didi Nugrahadi (Widodo, 2020, h.44). Dari sinilah, mulai muncul situs-situs berita yang terjun ke bisnis dotcom. Namun begitu, bisnis ini tidak berjalan mulus sesuai ekspektasi.Â
Memasuki tahun 2002, satu per satu media berguguran karena tidak mampu menutupi biaya operasional. Ada beberapa media yang bahkan harus melakukan PHK terhadap sejumlah karyawannya. Hanya ada dua media besar yang masih bertahan dengan kokoh yakni Kompas.com dan tempointeraktif.com kala itu karena masih ditopang oleh bisnis media induknya di media cetak.Â
Badai yang menerjang sejumlah media ini pun perlahan mereda. Menurut Widodo (2020, h.45-46), pada tahun 2004 muncullah kapanlagi.com, sebuah situs hiburan. Lalu, pada tahun 2006 dan 2008, MNC dan Grup Bakrie menciptakan okezone.com dan vivanews.com. Persaingan di dunia digital pun semakin ketat sehingga tidak tanggung-tanggung media seperti Kompas.com dan Tempointeraktif.com juga ikutan berbenah. Hingga akhirnya, tren ini pun terus melaju hingga User Generated Content (UGC) seperti Kompasiana.com.
Tantangan Jurnalisme Multimedia Hari Ini
Kendati eksistensinya semakin memuncak dan dibutuhkan di era kini, tetapi jurnalisme multimedia tetap memiliki sejumlah tantangan yang perlu dihadapi. Pertama, persoalan terkait etika jurnalistik. Misalnya, judul berita yang marak mengandung clickbait untuk menarik minat audiens dengan mengusik rasa penasaran yang timbul karena informasinya tidak utuh dan cenderung ambigu. Hidayat (2019, h.8), juga menyebutkan bahwa tujuan utama dari hal ini adalah mengarahkan pengguna media online agar statistik kunjungan meningkat yang selanjutnya digunakan untuk memperoleh pendapatan melalui iklan.Â
Kemudian, minimnya verifikasi karena faktor kecepatan berita yang harus segera tayang agar tidak ketinggalan dari media yang lain. Lalu, persaingan dengan pelaku content creator yang juga memberikan informasi yang sama tentang media arus utama. Artinya, kini konsumen pun sudah bisa bertindak sebagai produsen informasi sehingga media tidak lagi menjadi opsi utama dalam hal sumber informasi.Â
Terakhir, hal yang cukup berat berkaitan tantangan ini adalah tingkat kepercayaan masyarakat sendiri terhadap media. Menurut hasil riset Reuters (dalam Saptoyo dan Galih, 2022), kepercayaan keseluruhan masyarakat Indonesia pada berita media massa masih rendah yakni 39%. Persentase itu lebih rendah dari rata-rata global sebesar 42% (Pahlevi, 2022). Artinya, masih ada PR yang begitu besar dari masing-masing media untuk menyajikan berita yang independen, tidak terpengaruh dari politik atau pemerintahan yang ada, serta faktual sebagaimana adanya. Sebab, rasa percaya dari publik terhadap media adalah kunci penting bagaimana media bisa terus bertahan dan diandalkan oleh masyarakat.Â
Sumber:Â
APPJI. (2023, Maret 10). Survei apjii pengguna internet di indonesia tembus 215 juta orang. Diakses dari https://apjii.or.id/berita/d/survei-apjii-pengguna-internet-di-indonesia-tembus-215-juta-orangÂ
Hidayat, Y. D. (2019). Clickbait di media online indonesia. Jurnal Pekomnas IV(1), 1-10.Â
Pahlevi, R. (2022, 16 Juni). Tingkat kepercayaan responden di asia pasifik terhadap berita media massa 2022. Databoks katadata.co.id. Diakses dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/06/16/kepercayaan-warga-ri-terhadap-media-massa-tergolong-rendahÂ