Film diartikan sebagai gambar bergerak yang memberikan sebuah narasi atau cerita (Astuti, 2022, h. 5). Namun, arti sebagai gambar yang bergerak tersebut tidak serta merta bagus seperti sekarang yang sudah kita nikmati melalui layar bioskop atau gawai kita masing-masing. Kemajuannya melewati banyak masa, bahkan tak terkecuali dengan yang terjadi di Indonesia sendiri.
Perkembangan industri film di Indonesia melewati banyak tahapan. Sejak 1500 SM, Indonesia sudah mengenal gambar bergerak dalam rupa wayang kulit. Kemudian, perkembangan tersebut juga melahirkan adanya bioskop. Keberadaannya mulai berdiri di Hindia Belanda (nama sebelum menjadi Indonesia) pada tahun 1910 oleh para pedagang Tionghoa di wilayah Batavia atau sekarang disebut Jakarta.
Perusahan Film Pertama dan Karya-Karya Film Awal
Jika sudah ada bioskop, tak lengkap rasanya jika tidak ada perusahaan produksi filmnya. Perusahaan produksi film pertama yang berdiri di Indonesia tepatnya di Bandung bernama NV Java Film Company. Perusahaan yang berdiri pada tahun 1926 ini dimiliki oleh orang Belanda dan Jerman yakni L. Hueveldop dan G. Kruger (Astuti, 2022, h. 7).
Judul film pertama yang dibuat di Indonesia dan dirilis oleh perusahaan tersebut adalah Loetoeng Kasaroeng. Berdurasi selama satu minggu penayangan yakni 31 Desember 1926 hingga 6 Januari 1927, film ini mengangkat kisah tentang legenda tanah Sunda. Namun sayangnya, film ini bukan merupakan hasil karya orang Indonesia, melainkan oleh sineas Belanda dan Jerman yang sekaligus menjadi pemilik dari NV Java Film Company itu tadi. Selain film ini, terdapat juga beberapa film yang diproduksi yakni seperti Eulis Atjih dan Terang Boelan (Huzelmi, dkk, 2022, h. 258).
Tokoh Perfilman IndonesiaÂ
Tokoh perfilman Indonesia baru muncul pada sekitar tahun 1950. Tepatnya pada tanggal 30 Maret 1950, lahirlah sebuah karya film asli Indonesia yakni "Darah dan Doa" ciptaan Usmar Ismail. Dari tanggal tersebut pula, akhirnya dijadikan sebagai Hari Film Nasional. Ia sekaligus mendapatkan predikat sebagai Bapak Perfilman Indonesia dan sekaligus pendiri Perusahaan Film Nasional (Astuti, 2022, h. 17).
Tidak hanya Usmar Ismail, ada pula tokoh perfilman lain yang muncul kala itu yakni Djamaluddin Malik. Djamaluddin menjadi bapak Industri Film Indonesia dan sekaligus penggagas Festival Film Indonesia (Astuti, 2022, h. 17). Terakhir, ia juga menjadi pendiri Perseroan Artis Indonesia.
Eksistensi Film Indonesia VS Film Impor
Walaupun tahun 1950 film karya orang Indonesia baru muncul, tetapi di saat yang bersamaan eksistensinya cukup tersaingi pula dengan keberadaan beberapa film impor yang beredar di bioskop Indonesia. Menurut Huzelmi dkk (2022, h. 260), banyak film impor yang masuk ke Indonesia seperti dari Italia, Filipina, Malaysia, Inggris, India, Belanda, China, dan Amerika. Bahkan, jumlah film Amerika yang telah masuk ke Indonesia saat periode waktu tahun 1950-1955 adalah 12.066 film. Â
Protes pun sempat dilayangkan oleh Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) karena pihak mereka merasa tidak dilindungi oleh pemerintah terhadap film-film nasional yang disaingi oleh film impor. Kemudian, terjadi pula pemberhentian produksi film nasional untuk sementara, serta pemecatan para artis karena tidak ada biaya untuk membayar upah mereka dan bentuk pemogokan terhadap pemerintah.
Tuaian protes tidak hanya berasal dari pelaku sinema saja, tetapi juga dari serikat buruh film seperti Lekra dan Sarbufis. Lekra dan Sarbufis meminta kepada pemerintah agar menjamin membuka kembali studio-studio serta memberikan perlindungan kepada buruh dan artis film. Terakhir, para pekerja sinema juga didorong untuk memperkuat persatuan.
Sang proklamator, Ir. Soekarno sebagai Presiden RI pun saat itu mencoba mengambil kebijakan guna mengembangkan eksistensi film nasional. Pada 22 Desember 1964, Menteri Penerangan akhirnya membentuk Badan Pembinaan Perfilman atau BPP yang dipimpin oleh Soemarmo. Namun, kondisinya tidak kunjung menemukan titik terang. Banyak bioskop tutup. Film nasional tidak menarik minat penonton. Semakin hari, jumlah film semakin berkurang. Ditambah lagi kudeta pada September 1965 yang mengakibatkan proses produksi, distribusi, dan waktu tayang di bioskop dilumpuhkan. Dengan kata lain, film Indonesia memang mengalami krisis dan bahkan terancam mati kala itu.Â
Referensi:
Astuti, R. A. V. (2022). Filmologi Kajian Film. Yogyakarta: UNY Press.
Huzelmi, M., Erawati, M., Yulia, R. (2022). Perfilman di Indonesia tahun 1950-1965. Jurnal Pendidikan Sejarah 7(02), 257-265.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H