Walaupun tahun 1950 film karya orang Indonesia baru muncul, tetapi di saat yang bersamaan eksistensinya cukup tersaingi pula dengan keberadaan beberapa film impor yang beredar di bioskop Indonesia. Menurut Huzelmi dkk (2022, h. 260), banyak film impor yang masuk ke Indonesia seperti dari Italia, Filipina, Malaysia, Inggris, India, Belanda, China, dan Amerika. Bahkan, jumlah film Amerika yang telah masuk ke Indonesia saat periode waktu tahun 1950-1955 adalah 12.066 film. Â
Protes pun sempat dilayangkan oleh Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) karena pihak mereka merasa tidak dilindungi oleh pemerintah terhadap film-film nasional yang disaingi oleh film impor. Kemudian, terjadi pula pemberhentian produksi film nasional untuk sementara, serta pemecatan para artis karena tidak ada biaya untuk membayar upah mereka dan bentuk pemogokan terhadap pemerintah.
Tuaian protes tidak hanya berasal dari pelaku sinema saja, tetapi juga dari serikat buruh film seperti Lekra dan Sarbufis. Lekra dan Sarbufis meminta kepada pemerintah agar menjamin membuka kembali studio-studio serta memberikan perlindungan kepada buruh dan artis film. Terakhir, para pekerja sinema juga didorong untuk memperkuat persatuan.
Sang proklamator, Ir. Soekarno sebagai Presiden RI pun saat itu mencoba mengambil kebijakan guna mengembangkan eksistensi film nasional. Pada 22 Desember 1964, Menteri Penerangan akhirnya membentuk Badan Pembinaan Perfilman atau BPP yang dipimpin oleh Soemarmo. Namun, kondisinya tidak kunjung menemukan titik terang. Banyak bioskop tutup. Film nasional tidak menarik minat penonton. Semakin hari, jumlah film semakin berkurang. Ditambah lagi kudeta pada September 1965 yang mengakibatkan proses produksi, distribusi, dan waktu tayang di bioskop dilumpuhkan. Dengan kata lain, film Indonesia memang mengalami krisis dan bahkan terancam mati kala itu.Â
Referensi:
Astuti, R. A. V. (2022). Filmologi Kajian Film. Yogyakarta: UNY Press.
Huzelmi, M., Erawati, M., Yulia, R. (2022). Perfilman di Indonesia tahun 1950-1965. Jurnal Pendidikan Sejarah 7(02), 257-265.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H