Pusaran Iblis
Sesuatu yang kusembunyikan rapat, kupendam sangat dalam, suatu ketika tiba waktunya, terbongkar juga. Dan kalau bukan sebab desak Tino tempo itu, aku tak mau menggunakan kemampuan ini. Terus terang saja, aku ingin hidup normal layaknya manusia pada umumnya.
Sebelumnya, Tino sering bercerita tentang kawan dekatnya, yang terus menanyakan keberadaanku akhir-akhir ini. Bertanya mulai dari alamat kos, minta nomor hape, bahkan kapan aku tak punya jadwal pergi bekerja. Karena berhari-hari Tino selalu menyampaikan berita yang sama, aku memutuskan untuk menemui kawan dekatnya itu di sebuah warkop yang tak jauh dari tempat Tino bekerja. Dan orang itu bernama Bondan.
"Tolong! Bantu aku!" pintanya lirih.
Aku mencoba tenang, memantik korek membakar rokokku.
"Aku bukan dukun. Jadi, tak banyak yang bisa kubantu."
"Aku tahu banyak tentang kemampuanmu dari Tino saudara kembarmu itu," kejar Bondan lagi.
"Aku heran, orang-orang sekarang lebih suka membicarakan orang lain daripada memikirkan dirinya sendiri," kilahku.
Napas panjang keluar dari hidungnya, lalu ia berucap, "Maaf. Aku memang naif. Tapi, mohon bantu aku sekali saja bertemu kekasihku."
Aku melengos. "Ini perkara berat dan tidak mungkin aku bisa melakukannya. Aku menyerah," ujarku spontan mengangkat kedua tangan persis seorang copet yang tertangkap dan ditodong pistol oleh aparat.
"Mungkin bisa kita lakukan dengan cara lain," desaknya lagi.