Kami sudah tahu cara berpikir Garpu. Kami sadar tentang hal itu. Ia mulai banyak bercerita tentang Socrates. Pemikiran Socrates. Kehidupan Socrates. Bahkan Garpu sudah mulai menggunakan istilah-istilah yang sengaja dibuat rumit supaya terlihat hebat. Tafsir atas sesuatu terasa berlebihan. Pokoknya malam ini judulnya Socrates. Kami khusyuk mendengarnya. Kami tidak mau membantahnya. Terlebih, kami sudah ditraktir sate dan rokok, masak cuma begitu saja kami membantah. Malam ini betul-betul milik Garpu. Sebab kami tahu, Garpu baru saja menerima honorarium menulis untuk pertama dan sekaligus yang terakhir kali.
Tokoh ketiga sahabat karib saya kali ini adalah Sendok. Ia mahasiswa angkatan tahun 2000. Setelah gagal masuk UMPTN Jurusan Kedokteran Sendok lalu banting setir masuk Jurusan Teknik Elektronika. IPK Sendok 3 koma 98. Dan ia adalah mahasiswa yang paling dielu-elukan oleh para dosen. Sebetulnya, Sendok bukan tipikal mahasiswa yang tertib dan manis. Kata teman-teman sejawatnya, Sendok punya banyak keistimewaan. Dan yang paling terlihat menonjol adalah, malasnya nggak ketulungan.
Saya tidak mau bercerita panjang tentang Sendok di bagian ini. Saya tidak mau Anda terlihat jenuh karena tulisan saya. Apalagi kalau sudah menyangkut tentang Sendok. Saya bisa mengukur kemampuan menulis saya. Karena dulu Sendok pernah berkata, kalau tulisan saya kebanyakan kalimatnya selalu berputar-putar.
Singkat cerita, kami berempat memiliki ketertarikan soal yang sama. Suka menulis. Sendok dan Mangkuk sudah pasti memiliki kemampuan di atas rata-rata di antara Garpu dan saya. Kali ini saya perlu memberi sedikit ilustrasi. Seumpama, tulisan Mangkuk dan Sendok dalam satu bulan bisa headline 7 sampai 9 tulisan dari 10 tulisan yang masuk ke editor. Sedang Garpu dan saya 7 sampai 9 tulisan saja belum tentu ada 1 yang bisa tayang. Apalagi headline. Itu seperti pungguk merindukan bulan.Â
Suatu ketika, honorarium menulis tidak kami duga melimpah ruah. Akhirnya, kami memutuskan kembali ke jalur utama sebagai mahasiswa yang tertib dan manis. Membereskan tanggungan adminstrasi. Menyelesaikan beberapa mata kuliah yang terbengkalai. Kemudian mengejar skripsi. Mangkuk lulus di tahun 2007. Ia harus pulang kampung dan meneruskan karir ayahnya petani jeruk di Banyuwangi. Sendok lulus di tahun berikutnya, 2008. Ia pun juga menyusul, pulang kampung. Sendok lolos tes PNS di Kota Bandar Lampung. Kabar baik justru datang dari Garpu. Kami tidak menyangka ia lulus lebih cepat, tahun 2006. Ia kemudian mengadu nasib di Jakarta, dan kini menggeluti bidang persipilan sebagai kontraktor.
Dulu ketika masih dalam proses mengerjakan skripsi di sela-sela waktu tersisa, saat kami sedang duduk-duduk santai sembari menikmati kopi, kami berjanji untuk tetap solid menjadi tim menulis yang kuat hingga kami menjadi penulis besar. Suatu hari kami akan buat vila menulis yang mewah di Kota Batu Malang.
Tapi, cita-cita itu kemudian hilang, seturut dengan bubarnya kami semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H