Mohon tunggu...
Henri Koreyanto
Henri Koreyanto Mohon Tunggu... Buruh - Kuli

Kadet Ngopa-ngopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Teleskop Serdadu

27 Oktober 2023   10:03 Diperbarui: 29 Oktober 2023   21:45 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali ini saya coba alihkan lagi situasi. Satu sampai dua peluru saya lepaskan. Sembari memberi isyarat agar Alpa segera mundur. Nippon sudah tahu posisi kami dan mulai merangkak maju. Tembakan demi tembakan pasukan Nippon semakin membabi buta. Saya lihat Alpa sudah mundur dan aman. Saya coba merangkak menuju sungai sambil melepas peluru ke arah pasukan Nippon agar lambat laju gerak mereka. Akan tetapi sesuatu terasa tidak enak di lutut dan paha saya. Lalu disusul tangan kanan saya yang melemah seperti kehilangan daya untuk menarik pelatuk dan mengangkat senapan. Saya pun segera masuk sungai dan mulai tidak sadarkan diri.

Semenjak kejadian itu tangan kanan saya terkadang terasa kehilangan kekuatan, tapi, kadang-kadang kembali normal. Saya mengira mungkin ada yang terganggu dengan saraf tangan kanan saya ini. Bisa jadi itu karena tembakan Nippon yang mengenai lutut dan paha saya tempo itu. Saya menyadari hal ini, saat itu juga saya menyatakan pensiun. Memilih jadi petani madu di desa tempat lahir saya.

Peringatan upacara sudah selesai. Berbagai prosesi berjalan lancar. Saya masih duduk di bawah pohon beringin bersama para petani yang lain. Mereka nostalgia, bercerita masa-masa hidup di bawah tekanan penjajah. Ada yang berpura-pura jadi penjilat. Ada yang tidak mau tahu masa bodoh. Ada yang berani memberontak dan dikejar-kejar. Yang jelas, saya sangat menikmati kisah mereka.

Tak berapa lama, seorang komandan mendekat. Saya sangat kenal betul siapa dia. Saya berusaha bangkit. Kami masih terdiam. Saya beri hormat dia membalas. Sesaat ia melepas seragamnya. Ia kenakan kepada saya. Saya masih berusaha berdiri tegap. Ia mulai dari atas mengancingkan seragam itu hingga selesai, kemudian ia hormat lagi tapi kali ini cukup lama.

Saya kemudian melepas kancing seragam dengan pelan, saya lepas seragam yang dikenakan tadi. Lalu saya berusaha meraih tangannya dan menurunkan. Saya kenakan lagi seragam padanya saya rapikan. Persis seperti sedia kala. Saya bilang padanya, "Suatu kehormatan bisa satu tim bersama Tuan di regu tembak."

Tak lama, tangan pria itu merogoh kantung celana. Dikeluarkan dua teleskop. Satu terukir kode panggilan nama saya, dan satu lagi kode nama pria tersebut. "Saya menemukan teleskop milik Bapak di tepi sungai."

"Saya simpan dengan baik-baik. Jika saatnya tiba perkenankan saya izin bawa teleskop Bapak, dan Bapak bawa teleskop saya," ujarnya seperti akan sesenggukan.

"Di kisah pewayangan seorang ksatria tidak diizinkan air matanya menetes mengenai kulit. Sebab hilang nanti kesaktiannya," balas saya lirih.

Tak lama saya dan para petani pulang diantar menggunakan truk serdadu yang dulu pernah saya nikmati ketika masih menjadi seorang serdadu.

TAMAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun