Mohon tunggu...
Henri Koreyanto
Henri Koreyanto Mohon Tunggu... Buruh - Kuli Kasar

Sedang menjalin hubungan baik dengan Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Teleskop Serdadu

27 Oktober 2023   10:03 Diperbarui: 29 Oktober 2023   21:45 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini, hari jadi kemerdekaan yang kedua dan tak lama upacara akan segera dimulai. Untuk pertama kali saya datang bersama rombongan petani. Saya senang, paling tidak di usia saya yang senja ini, pernah ikut perayaan walau cukup berdiri di balik pagar bambu yang tingginya setengah badan. Dulu, saya hanya seorang serdadu. Yang memilih tidak lagi masuk medan perang.

Saya sangat bahagia masih bisa menyaksikan kawan saya itu. Ya, dia yang ada di dalam pagar bambu itu. Dia yang saat ini sedang berjabat tangan dengan para serdadu. Wajahnya ceria, nampak sehat dan bugar. Perutnya tidak buncit. Badanya tegap, betul-betul pimpinan yang sedap dipandang. Tidak banyak yang berubah dari kawan saya itu. Hanya keriput di wajahnya yang tidak bisa berbohong.

Hari itu, hari yang selalu saya ingat di setiap waktu. Bayang-bayangnya tidak bisa lepas walau beban kehidupan semakin hari semakin bertambah. Pasukan Nippon benar-benar ingin menguasai pos terakhir. Pos di mana semua sudut tempat bisa dilihat dengan cukup berdiri di atas tower saja. Jika hal ini terjadi, dan Nippon memenangkan pertempuran, tamat sudah riwayat kami semua.

Sebelum agresi, komandan menerima kabar, jika Nippon ingin berunding baik-baik. Melakukan kerja sama dalam banyak bidang. Baik soal pendidikan, pertanian, dan irigasi. Yang terpenting Nippon janji ikut memajukan kesejahteraan penduduk. Ini kabar baik, kata komandan. Harus segera terlaksana. Alhasil dibentuklah tim dan pembagian tugas. Serdadu-serdadu dikumpulkan. Diposisikan di tempat-tempat vital. Minimal bisa memukul mundur Nippon itu sudah bagus. Sebab, jika dihitung, pertempuran tidak imbang. Nippon jelas menang di atas kertas. Gaya bahasa Nippon memang selalu begitu. Tidak beda jauh dengan kumpeni. Setali tiga uang, begitu konon kata pepatah. "Jangan bodoh," ujar komandan waktu itu.

Tak lama, komandan mendekat dan menepuk pundak saya lalu mengajak masuk ke suatu ruang yang kecil. Di dalamnya cuma ada meja dan satu kursi. Oh ya, satu lagi, sebuah kertas besar dan lusuh, saya tahu itu. Tentu peta.

Dalam hati saya masih bertanya-tanya, tugas seperti apa yang akan saya terima. Sedang jari komandan masih menari-nari di atas peta. Memberi tahu pos-pos siaga para serdadu. Meramal kemungkinan arah pasukan Nippon datang. Tetapi, tak lama jarinya berhenti menari tepat di atas sebuah gambar batu yang katanya tertutup semak belukar.

Di situ tempat saya nanti berjaga. Di antara itu. Wajah komandan begitu yakin. Sudah mantap katanya. Tapi, saya yang tidak yakin. Saya bukan penembak runduk. Saya coba ingatkan lagi. Jika saya, hanya seorang penembak jitu. Komandan saya masih kekeh. Dia tak peduli dengan istilah itu. Situasi di medan perang bisa berubah sewaktu-waktu. Dan kita semua harus siap menjadi apapun.

Saya tetap tegak lurus pada pendirian. Sekali lagi saya katakan. Jika saya bukan penembak runduk. Komandan mendekat lalu berkata sebelum meninggalkan ruang kecil ini. "Apa salahnya jika manfaatkan alat yang ada. Karena hanya itu jalan satu-satunya."

Mendengar hal itu, saya sedikit melunak. Sejenak saya berpikir dengan hal yang sama. Komandan kembali mendekat lalu menepuk pundak saya lagi. Saya bisa merasakan tepuknya kali ini, seolah ingin berkata, jika tugas yang saya lakukan, sangat tidak ringan.

Ha min tiga sebelum Nippon datang saya sudah di lokasi. Tempatnya benar, penuh semak belukar. Ada batu-batu penghalang. Di depan semak belukar ada rawa yang luas. Di belakangnya terdapat sungai sangat lebar dan dalam. Kali ini saya tidak sendiri. Komandan memberi saya pasangan, dia seorang penembak jitu juga, usianya lebih muda dari saya. Saya memanggilnya, Alpa. Sedang saya dipanggil Delta. Kode nama untuk memudahkan memberi isyarat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun