Jika saja, pagi itu, Sukarjo tidak menyelinap lalu menyaksikan sahabat dekatnya diarak oleh kumpeni keliling desa, ia tidak akan pernah bertemu dua pemuda menyebalkan yang pernah hadir di hidupnya.
Dua pemuda kurus kerempeng itu berhasil menguntit. Hingga berdiri tegak di depan teras rumah. Napasnya tak teratur memaksa bicara. Badri mengawali. Lalu disambut Joniman. Belum juga usai, Badri menimpali. Keduanya saling bersahutan. Sukarjo tampak kesal mendengar. Tak lama ia menunjuk Joniman. "Kamu saja yang cerita!" ujarnya ketus.
"Tum, ini menyangkut keselamatan..." tukas Joniman penuh asa.
"Kamu pikir, waktu itu, keselamatanku gratis!" balas Tumino lirih sembari mendekatkan wajahnya dan melotot.
"Aku paham Tum, bagaimana posisimu saat itu. Tapi..." Joniman masih berusaha menenangkan. Tapi sepertinya, gagal. Sedang Tumino memotong dan semakin mencecar.
"Tapi apa... tapi apa... hah!" terlihat gigi-giginya semakin mengeram seperti menggigit tetapi tidak ada yang digigit.
"Tum, kepada siapa lagi kami berharap. Hanya kamu satu-satunya yang bisa melakukan hal itu. Dan ini soal nyawa," Joniman masih merayu lagi. Tumino terdiam. Kali ini cukup lama.
"Tum, bantulah dia..." semakin pelan suara Joniman.
"Di mana letak sel Darsono?" tanyanya.
"Nomor tiga dari ujung sisi barat," jawab Joniman sedikit lega.
"Kutemui kalian di jalan setapak belakang sel dekat pohon randu itu," ujar Tumino dingin.
Kemudian, Joniman dan Badri beranjak pamit dan pergi. Tumino coba mencari kursi. Duduk menenangkan pikiran. Jiwanya penuh gejolak. Apalagi jika teringat masa kelam itu.
Tidak ada yang pernah menyangka. Darsono betul-betul tega menggadaikan sahabat dekatnya untuk kepentingan kumpeni. Hingga detik ini ia masih tidak bisa percaya.
Saat itu Tumino sebagai kuli kebersihan taman di benteng kumpeni. Tapi entah kenapa tiba-tiba saja Tumino dituduh tahu banyak tentang Jenderal Besar Revolusi. Ia diminta mengungkap keberadaan Jenderal Besar itu. Tapi, terang saja Tumino tidak mengaku. Ia tidak lebih hanya kuli taman. Sebelum interogasi di sel, kumpeni sudah lebih tahu tentang siapa dirinya dari Darsono. Mendengar itu Tumino tak berkutik, ia hanya diberi kesempatan berpikir satu malam. Jika masih bungkam, eksekusi tembak dilakukan besok pagi sebelum matahari terbit.
Enam tahun telah berlalu. Ia sudah bukan lagi bagian pasukan intelijen dari Jenderal Besar. Tumino dibebastugaskan, itu semata demi keluarganya dan keluarga calon istrinya. Hidupnya dibuat tak menentu. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu daerah ke daerah lain. Hingga pada suatu hari ia dinyatakan hilang oleh kumpeni. Saat itu juga Tumino bebas dan mulai punya identitas baru.
Pernah suatu ketika saat masih dalam masa pelarian. Tumino ingin sekali menculik Darsono. Jika rencana itu berjalan mulus, hal pertama yang perlu dilakukan adalah menyiksa tubuhnya, menyayat kulitnya, dan terakhir, memutilasinya lalu dimasukan ke dalam karung goni kemudian membuangnya di kolam buaya milik kumpeni. Tapi, niatnya selalu gagal. Pesan dari Jenderal Besar selalu lewat dan menghantui pikirannya. "Penghianat pasti mati dengan sendirinya."
Tumino memang telah lolos dari masa buronan. Penghianatan tidak membuatnya mati. Ia hanya tersiksa sesaat. Kini, ia sudah punya pekerjaan baru. Pembuat belati dan ahli kunci. Bakat terpendamnya itu yang membuatnya bertahan hidup. Dan juga, bisa lolos dari pintu jeruji besi.
Beberapa hari lalu, tersiar kabar, jika Darsono sering salah mengungkap keberadaan Jenderal Besar Revolusi. Kabar darinya tidak pernah sekali pun benar. Kumpeni curiga, Darsono bukan lagi orang yang bisa dipercaya. Kegagalan demi kegagalan itulah yang harus membuatnya masuk sel dan berhadapan dengan timah panas. Kapan ekseskusinya, sama persis seperti Tumino tempo lalu.Â
Di kursi teras itu, matahari merambat masuk melalui celah-celah pagar bambu. Tumino bangkit, lalu menutup semua jendela. Ia tak ingin membuang tenaga dan menghabiskan banyak pikiran soal tadi. Dengan segera, mengemas barang-barangnya. Ia ingin pindah rumah.
Dua hari berlalu, saat Tumino selesai ambil barang yang tertinggal di rumah lamanya. Saat akan menutup pagar bambu, dua orang kepercayaan Darsono datang. Joniman dan Badri.
"Biadap!" umpat Badri kesal dan mendekat.
"Bajingan, kau Tum!" lebih kasar umpatan Joniman kali ini. Kepalanya semakin mendongak, "Betul-betul tidak punya hati nurani. Kau lebih rendah dari binatang!"
Tumino menjawab ringkas, "Aku memang bajingan, tapi Darsono lebih bajingan dariku. Apakah penghianat masih punya hak mendapat kesepakatan. Tidak ada dalam buku mana pun tentang hal itu."
Mulut Joniman bergetar, matanya tajam melotot. Badri tidak kuat menahan bibirnya, "Tega sekali kau Tum."
"Sukarjo," tukasnya singkat.
"Tumino sudah tiada. Yang ada di depanmu hanya Sukarjo," ujarnya lagi sembari berulang-ulang jari telunjuk menempel di dada Badri. Lalu kemudian bergegas pergi. Joniman dan Badri masih tegak berdiri di depan rumah kosong itu dengan tatapan kosong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H