Perkenalkan nama saya Raden. Teman-teman biasa panggil saya juga sama, Raden. Tidak ada panggilan khusus untuk saya walaupun terkadang saya orangnya agak aneh, tetap saja saya dipanggil Raden.
Tapi saya tidak pernah mempermasalahkan sebuah nama, asal teman-teman suka saya sudah senang walau dipanggil bukan dengan sebutan Raden.
Saya orangnya low profil, penampilan gitu-gitu saja. Usia sudah 35 tahun. Wajah dibilang ganteng. Tidak. Jelek juga tidak. Pokoknya pas-pasan saja. Banyak teman bilang saya terkesan punya karisma cuek.
Hubungan asmara, saya tidak mengenal apa itu pacaran. Karena setiap hari saya sangat tahu, kakak pertama saya selalu akting ketika pacarnya bertanya. "Sudah makan kah abangku sayang?" kakak saya selalu terburu-buru ambil piring pura-pura mau makan. Padahal ibu jarang sekali masak karena tidak ada yang bisa dimasak. Jadi saya tidak ingin merepotkan diri karena pacaran.
Dan apakah saya tidak tertarik dengan wanita. Tentu sangat tertarik. Tapi bukan itu masalah yang ingin saya ceritakan.
Sudah dua bulan saya tidak lagi menganggur. Saya sudah kerja di perusahaan kertas bekas. Ya. Betul. Kertas bekas yang sudah tidak dipakai lagi. Tapi, kertas bekasnya impor, karena kertas bekas dalam negeri tidak cukup untuk kebutuhan daur ulang.
Saya ada di bagian pemilahan. Tugas saya memisahkan mana yang betul-betul kertas dan mana yang kertas ada lapisan plastiknya. Bila beruntung, satu jam saya bisa dapat 4 kg kertas bersih. Tapi bila tidak, bisa dapat satu sampai dua kilogram saja. Memisahkan plastik dari kertas tidak mudah, bila kesal langsung saya buang saja. Saya harus kejar target karena 8 jam kerja harus dapat 55 kg kertas bersih.
Perusahaan kertas tidak sebesar apa yang dibayangkan. Tidak ada alat sensor, semua serba manual. Pernah suatu ketika di minggu kedua hingga minggu keempat saya bisa dapat 60 kg sampai 70 kg. Itu artinya lebih dari target harian. Akhirnya wajah saya nampang di mading dan jadi pekerja favorit 3 minggu berturut-turut.
Selain penghargaan di mading, saya juga dapat bonus amplop berwarna coklat terang yang tentu dalamnya sudah bisa ditebak pasti uang.
Di sini masalah muncul, ternyata banyak yang tidak suka saya kejar target. Padahal hasil bonus dari target itu saya sering berbagi dengan mereka yang tidak suka saya. Ternyata itu tidak cukup.
Mandor saya pun juga sama. Ikut-ikutan tidak suka saya seperti itu. Saya disuruh ikut yang lainnya nggak usah kejar target kurang pun tak apa. Nanti untuk laporan biar mandor yang urus. Di sini saya semakin tidak mengerti apa maksudnya.
Suatu malam saya jenuh dan pergi ke kedai kopi langganan saya. Tempatnya tak jauh dari tempat saya bekerja. Saya pikir ini adalah uang terakhir saya dari sisa bonus. Dan saya harus memakainya karena saya tidak akan lagi punya kesempatan itu.
Kedai kopi langganan saya itu tidak begitu ramai dan tidak sepi. Dan di sini juga awal mula saya bertemu dengan laki-laki berbadan gemuk tidak tinggi dan tidak pendek. Seseorang yang kelak menerima saya untuk bekerja di perusahaan kertas bekas.
Saya baru tahu jika beliau pemilik perusahaan. Penjaga kedai kopi yang kasih tahu saya. Dan saat ini laki-laki itu ada di samping saya. Saya memanggilnya bapak.
Kami berbincang cukup lama, malah sekarang lebih akrab. Bapak bilang, bangga punya karyawan seperti saya. Bila kerja selalu lebih dari target dan bapak tidak sungkan-sungkan bakal kasih lebih dari itu.
Saya cukup senang mendengarnya. Bapak masih terus bercerita dan berpesan. Agar saya tetap semangat mempertahankan kinerja. Saking senangnya, katanya ngopi malam ini bapak yang traktir.
Di tengah kebahagian ini, saya sedikit memotong perbincangan. Saya bilang ke bapak, sudah beberapa minggu ini saya kerja hanya sesuai target. Tapi alangkah terkejut saya mendengar balasan bapak. Jangan merendah begitu. Laporan yang masuk selama dua bulan adalah kinerja yang sangat bagus dan itu harus dibanggakan.
Sontak saya kaget mendengar itu. Pandangan saya tiba-tiba mundur hingga saya dapati pada suatu sore, satu minggu sebelum saya genap kerja dua bulan. Para mandor berbagi isi amplop. Dan warna amplop itu saya kenal betul. Tadinya saya tidak mengerti apa maksudnya itu.
Tak lama saya terbangun dari lamunan. Tanpa sengaja kepala saya mengangguk-angguk kecil. Saya mbatin. Sebaiknya memang betul. Saya ikut saja kata para mandor-mandor itu. Dan saya tidak suka punya banyak musuh.
Saya cuek saja dari apa yang barusan saya ingat tadi. Dan yang sangat penting saat ini adalah, saya masih bisa sebangku dan ngopi gratis dengan bos besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H