Dari itu aku menyiasati dengan memilihkannya batang berkelok-kelok dan ringan. Supaya sebelum ujung tongkat menghentak ke tanah, kekuatan mantra itu terkumpul di kelok-keloknya dulu. Dengan begitu mantra Gedruk Bantala mampu memberikan daya dorong yang lebih besar untuk menghantarkan Ki Kebomas ke pulau ini." Kata Empu Akatara sembari memberikan tongkat itu kepada Ki Arnawa yang mulai bangkit dari tempat duduk.
"Sudah saatnya kami segera berlayar, Empu." Ujarnya menggengam tongkat setigi itu dengan mantap.
"Tunggu-tunggu!" ujar Bimasena dengan telapak tangan mengangkat ke arah Ki Arnawa. Sejenak dia terheran menatap aneh wajah Bimasena. Kemudian perlahan kembali duduk.
"Tak mungkin jika hanya itu, Empu?" kata Bimasena dingin, serasa belum puas dengan penjelasan itu. Empu Akatara pun melanjutkan disertai tarikan napas dalam. Suaranya lirih kali ini.
"Saat itu benar-benar tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari pohon-pohon setigi tersisa di bebatuan tepi pantai. Sedang sore hampir berganti malam. Dengan menanggung rasa lelah begitu hebat kusandarkan badan pada pohon setigi yang sudah tua dan hampir mati. Tanpa sadar mataku terpejam.
Sesaat seberkas cahaya putih menyilaukan datang. Aku tahu ini bukan raga sukma tapi aku bisa melihat diriku sendiri bersandar pada pohon itu. Semakin lama aku memandang semakin kulihat keanehan terjadi. Lalu tiba-tiba saja batang pohon setigi membentuk semacam bibir, berucap dan berpesan. Jika dia sudah sangat berumur, tak ada lagi yang bisa diharapkan dari pohon yang sudah tua. Banyak pohon setigi muda yang siap menggantikannya." Ki Arnawa mendengar hampir tak mengedipkan mata sedang Bimasena semakin tampak serius mendengar. Empu Akatar melanjutkan.
"Jika memang takdirku ini berada di genggaman Ki Kebomas untuk membantu Dewandaru mengembalikan lagi hutan di Karimunjawa, sudah sepantasnya aku ikut membantunya. Ayolah Empu, ambil saja bagian apa yang kau inginkan dari diriku ini.
Sesaat aku terbangun dari tidur. Mataku masih terus membelalak dengan tatapan kosong. Kucoba mengingat lagi, tapi sulit. Tak lama kualihkan pandangan ke belakang, memandangi batang pohon setigi lalu kuraba-raba setiap batangnya tak kutemukan bentuk bibir seperti dalam mimpi tadi. Kutenangkan diriku sejenak. Hingga tanpa terasa aku kehilangan pijakan dan terperosok, dengan cepat tanganku meraih apa saja yang bisa membuatku bertahan. Saat kulihat ke bawah dengan posisi masih menggantung kira-kira setinggi satu setengah meter dari dasar pasir. Kuberanikan saja untuk terjun.
Di sinilah baru kusadari. Mungkin ini maksud pesan itu, akar pohon yang baru saja kujadikan pegangan, akhirnya menjadi tongkat yang saat ini ada di tanganmu itu Ki." Kata Empu Akatara tenang. Sedang Ki Arnawa tertegun dengan penjelasan Empu Akatara.
"Aku rasa, pilihan tongkat Anda tak pernah ada masalah." Timpal Bimasena dengan suara memuji.
Empu Akatara tersenyum. "Sampaikan salamku untuk Ki Kebomas." Ujarnya kepada mereka berdua.