Empu Akatara tampak begitu gelisah. Kedua tangannya meremas-remas, bola matanya meloncat-loncat memandang setiap orang yang melintas di depannya. Hingga tak satu pun dari mereka yang terlewat.
Kadang kala dia melirik ke samping kanan, dilihatnya lama tongkat berwarna abu-abu kecokelatan. Kemudian menyentuhnya dengan hangat, hati kecil seperti mengatakan semoga segera sampai pada yang empunya.
"Apa benar tongkat itu yang akan kubawa berlayar?" Kata sesosok lelaki berbadan tegap lagi ramah.
Sesaat telinga Empu Akatara secepat kilat mengirim pesan masuk ke sel-sel otaknya. Dia mengenal betul suara siapa gerangan. Kepalanya menoleh bola matanya mendadak menatap penuh yakin. "Ki Arnawa." Sapanya.
Dia pun bangkit, meraih kedua lengan teman lamanya itu. Lalu menepuk-nepuknya. "Kapan kau tiba lagi di sini?" tanyanya penasaran.
"Besok lusa. Secepatnya." Jawabnya mantap.
"Aku banyak mendengar cerita dari para warga di dermaga ini jika anak itu pasti akan pulang." Ujar Ki Arnawa pelan seperti berbisik.
"Kami merencanakannya." Seraya mendekatkan kepala.
"Oh." Gumam Ki Arnawa, melanjutkan. "Jadi, bukan dengan mantra Gedruk Bantala?"
"Hmmm. Itu hanya bualan yang kusebar melalui orang kepercayaanku." Bisiknya sembari mata bergerak ke kanan dan ke kiri. Takut jika ada yang menguping percakapan mereka. "Kau satu-satunya murid Padepokan Inggil Giri yang tak pernah dikenal oleh Putera Nara dan Ki Purwa. Jadi ... ?" kata Empu Akatara menarik napas dalam.
Belum sempat dia menambahkan, Ki Arnawa menyahuti. "Apa sudah dipikir sesampainya di dermaga. Tentu tak sedikit orang mengenalnya. Tanda biru di tangannya itu tentu warga sekitar banyak tahu jika dia Dewandaru."
"Itulah harapannya." Gumamnya singkat. Tetapi Ki Arnawa masih tampak belum mengerti maksudnya. Empu Akatara yang tahu ekspresi itu melanjutkan.
"Kabar kedatangannya sekaligus memberi sinyal, apakah mereka tetap bertahan atau ...damai."
"Ah. Sepertinya jauh harapan jika mereka berdua kemudian tahu lalu berniat damai." Gumam Ki Arnawa meragukan.