Mohon tunggu...
Henri Koreyanto
Henri Koreyanto Mohon Tunggu... Buruh - Kuli Kasar

Sedang menjalin hubungan baik dengan Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Harapan di Hutan Larangan

23 Juni 2022   12:16 Diperbarui: 23 Juni 2022   12:32 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari siang menggantung tinggi di langit. Dewandaru dan Ki Kebomas kembali ke tempat duduk lincak bambu depan rumah. Mereka baru saja melepas keberangkatan Jaka Bobo dan Raden Milo menjadi murid baru di Padepokan Inggil Giri.

Hati Dewandaru merasa setengah bangga dan setengah kesepian. Muncul ingatan semasa kecil bersama-sama mereka membuatnya terhibur wajahnya begitu tampak semringah. Tetapi sesaat begitu teringat kepergian Jaka Bobo dan Raden Milo ekspresi wajahnya berubah sangat sedih.

Ki Kebomas menyipitkan mata menatap Dewandaru.
"Kakek pun pasti merasakan juga nantinya. Tinggal menunggu waktu saja. Semua akan kembali seperti asalnya." Kata Ki Kebomas dengan suara serak.

Mendengar itu Dewandaru merasa tambah sedih.
"Kek?" tanyanya lirih. "Apakah aku bisa mengunjungi kakek kapan saja?"

Ki Kebomas mencoba menghirup napas panjang.
"Entah kenapa hatiku berat sekali melepasmu pulang ke Karimunjawa. Jika bukan karena Ki Kastara yang mengingatkan, takkan kubiarkan dirimu menghadapi Putera Nara seorang diri. Tapi ..." katanya mengalihkan pertanyaan, dan lama terdiam.

"Tapi, apa Kek?" Tanya Dewandaru penasaran.

"Jika tak segera kau selamatkan, selamanya takkan pernah kakek menjumpai Ki Purwa." Ujar Ki Kebomas menunduk lesu.

"Jadi itu jawaban kenapa kakek memberiku dua mantra sakti." Gumam Dewandara sambil memegang tangan Ki Kebomas yang mengangguk kecil.

"Dulu, saat kakek baru saja lulus dari Padepokan Inggil Giri. Secepatnya ingin sekali pergi ke Karimujawa menyelamatkan Ki Purwa sebelum ia mewariskan ilmunya kepada Putra Nara. Tapi, guru besar berpesan agar kakek pergi dan menjaga hutan larangan ini saja.

Saat itu hujan turun sepanjang hari. Membuat Desa Kemasan tak kuat lagi menerima luapan air, banjir bandang pun terjadi. Rumah-rumah terendam, dan parahnya lagi warga pun gagal panen. Tak berhenti sampai situ, ketika air sudah surut. Desa Kemasan diserang wabah penyakit, kudis, kurap, kutu air, dan gatal-gatal, hingga muntah-muntah. Kejadian seperti ini terus berulang sepanjang tahun" Ujarnya menghela napas. Dewandaru mendengar penuh perhatian.

"Hingga suatu ketika warga desa menyadari, jika pohon-pohon itu memberi mereka banyak keuntungan, tetapi kerugian besar pun tak bisa terelakkan. Bersama tetua desa mereka gotong royong menanam ulang bibit-bibit pohon. Harapan adanya perubahan begitu tinggi, tapi hasilnya berbuah hampa.

Mereka dan tetua desa berdatangan di gubuk ini membawa banyak pertanyaan. Tentu saja kakek terbuka tentang hal itu. Singkat cerita, kakek berpesan agar mereka melakukan tanam ulang saja. Tapi mereka sudah putus asa dengan alasan percuma toh pasti daun layu, batang kering, dan mati. Kakek coba membesarkan hati mereka, dan berpesan sudah tanam saja. Hidup atau mati bibit-bibit pohon itu biar kakek yang urus. Mereka pun kembali melakukannya sepenuh hati."

Dewandaru masih setia mendengar, ekspresinya semakin penasaran. Ki Kebomas melanjutkan ceritanya.

"Setiap kali mereka selesai menanam dan meninggalkan bibit pohon. Kakek mendatangi bibit itu satu per satu. Berbekal mantra 'Nirna Titen,' tentu mantra itu membuat orang yang berniat mencabut bibit dan menebang pohon mendadak pasti hilang ingatan saat tiba di lokasi.

Begitupun sebaliknya. Ketika mereka pulang tentu ingatan untuk menebang pohon datang lagi. Jika kembali, lupa lagi, terus saja seperti itu berulang-ulang hingga mereka merasa lelah. Dan sampai pada akhirnya hutan ini lama-lama mereka menyebutnya dengan nama, hutan larangan." Terang Ki Kebomas disertai bibir Dewandaru mulai tampak senyum-senyum.

"Jadi Cucuku, sudah tahu maksud kakek, kan?" tanya Ki Kebomas tiba-tiba.

"Ya Kek. Menunggu kehadiranku sembari merawat hutan larangan hingga jika saatnya tiba, aku yang akan menjadi penghubung pertemuan kakek dan Ki Purwa. Melalui perlawanan terhadap Putera Nara." Ujar Dewandaru lirih.

"Begitu kurang lebihnya cucuku." Ujarnya menghela napas. "Kehadiranmu menjadi harapan besar kakek dan guru besar di Padepokan Inggil giri."

"Ka-kakek." Gumam Dewandaru pelan.
"Semua mantra, baik dasar maupun mantra besar. Sudah melekat di tubuhmu. Kakek hanya membantu menggalinya saja. Jadi, kau cucuku. Ditakdirkan untuk mengembalikan keadaan dan kembali ke tanah kelahiranmu." Ucap Ki Kebomas penuh semangat.

Mendengar itu membuat hati Dewandaru bergelora. Wajahnya memancarkan beribu cahaya harapan. Hilang sudah rasa sedihnya yang mendalam akan kepergian dua temannya. Kepalanya terus mengangguk kecil disertai pelukan hangat seorang kakek yang sangat disayanginya.

Cerpen Dewandaru
11. Harapan Di Hutan Larangan
Kamis, 23 Juni 2022
Henri Koreyanto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun