Matahari siang menggantung tinggi di langit. Dewandaru dan Ki Kebomas kembali ke tempat duduk lincak bambu depan rumah. Mereka baru saja melepas keberangkatan Jaka Bobo dan Raden Milo menjadi murid baru di Padepokan Inggil Giri.
Hati Dewandaru merasa setengah bangga dan setengah kesepian. Muncul ingatan semasa kecil bersama-sama mereka membuatnya terhibur wajahnya begitu tampak semringah. Tetapi sesaat begitu teringat kepergian Jaka Bobo dan Raden Milo ekspresi wajahnya berubah sangat sedih.
Ki Kebomas menyipitkan mata menatap Dewandaru.
"Kakek pun pasti merasakan juga nantinya. Tinggal menunggu waktu saja. Semua akan kembali seperti asalnya." Kata Ki Kebomas dengan suara serak.
Mendengar itu Dewandaru merasa tambah sedih.
"Kek?" tanyanya lirih. "Apakah aku bisa mengunjungi kakek kapan saja?"
Ki Kebomas mencoba menghirup napas panjang.
"Entah kenapa hatiku berat sekali melepasmu pulang ke Karimunjawa. Jika bukan karena Ki Kastara yang mengingatkan, takkan kubiarkan dirimu menghadapi Putera Nara seorang diri. Tapi ..." katanya mengalihkan pertanyaan, dan lama terdiam.
"Tapi, apa Kek?" Tanya Dewandaru penasaran.
"Jika tak segera kau selamatkan, selamanya takkan pernah kakek menjumpai Ki Purwa." Ujar Ki Kebomas menunduk lesu.
"Jadi itu jawaban kenapa kakek memberiku dua mantra sakti." Gumam Dewandara sambil memegang tangan Ki Kebomas yang mengangguk kecil.
"Dulu, saat kakek baru saja lulus dari Padepokan Inggil Giri. Secepatnya ingin sekali pergi ke Karimujawa menyelamatkan Ki Purwa sebelum ia mewariskan ilmunya kepada Putra Nara. Tapi, guru besar berpesan agar kakek pergi dan menjaga hutan larangan ini saja.
Saat itu hujan turun sepanjang hari. Membuat Desa Kemasan tak kuat lagi menerima luapan air, banjir bandang pun terjadi. Rumah-rumah terendam, dan parahnya lagi warga pun gagal panen. Tak berhenti sampai situ, ketika air sudah surut. Desa Kemasan diserang wabah penyakit, kudis, kurap, kutu air, dan gatal-gatal, hingga muntah-muntah. Kejadian seperti ini terus berulang sepanjang tahun" Ujarnya menghela napas. Dewandaru mendengar penuh perhatian.
"Hingga suatu ketika warga desa menyadari, jika pohon-pohon itu memberi mereka banyak keuntungan, tetapi kerugian besar pun tak bisa terelakkan. Bersama tetua desa mereka gotong royong menanam ulang bibit-bibit pohon. Harapan adanya perubahan begitu tinggi, tapi hasilnya berbuah hampa.