Mereka dan tetua desa berdatangan di gubuk ini membawa banyak pertanyaan. Tentu saja kakek terbuka tentang hal itu. Singkat cerita, kakek berpesan agar mereka melakukan tanam ulang saja. Tapi mereka sudah putus asa dengan alasan percuma toh pasti daun layu, batang kering, dan mati. Kakek coba membesarkan hati mereka, dan berpesan sudah tanam saja. Hidup atau mati bibit-bibit pohon itu biar kakek yang urus. Mereka pun kembali melakukannya sepenuh hati."
Dewandaru masih setia mendengar, ekspresinya semakin penasaran. Ki Kebomas melanjutkan ceritanya.
"Setiap kali mereka selesai menanam dan meninggalkan bibit pohon. Kakek mendatangi bibit itu satu per satu. Berbekal mantra 'Nirna Titen,' tentu mantra itu membuat orang yang berniat mencabut bibit dan menebang pohon mendadak pasti hilang ingatan saat tiba di lokasi.
Begitupun sebaliknya. Ketika mereka pulang tentu ingatan untuk menebang pohon datang lagi. Jika kembali, lupa lagi, terus saja seperti itu berulang-ulang hingga mereka merasa lelah. Dan sampai pada akhirnya hutan ini lama-lama mereka menyebutnya dengan nama, hutan larangan." Terang Ki Kebomas disertai bibir Dewandaru mulai tampak senyum-senyum.
"Jadi Cucuku, sudah tahu maksud kakek, kan?" tanya Ki Kebomas tiba-tiba.
"Ya Kek. Menunggu kehadiranku sembari merawat hutan larangan hingga jika saatnya tiba, aku yang akan menjadi penghubung pertemuan kakek dan Ki Purwa. Melalui perlawanan terhadap Putera Nara." Ujar Dewandaru lirih.
"Begitu kurang lebihnya cucuku." Ujarnya menghela napas. "Kehadiranmu menjadi harapan besar kakek dan guru besar di Padepokan Inggil giri."
"Ka-kakek." Gumam Dewandaru pelan.
"Semua mantra, baik dasar maupun mantra besar. Sudah melekat di tubuhmu. Kakek hanya membantu menggalinya saja. Jadi, kau cucuku. Ditakdirkan untuk mengembalikan keadaan dan kembali ke tanah kelahiranmu." Ucap Ki Kebomas penuh semangat.
Mendengar itu membuat hati Dewandaru bergelora. Wajahnya memancarkan beribu cahaya harapan. Hilang sudah rasa sedihnya yang mendalam akan kepergian dua temannya. Kepalanya terus mengangguk kecil disertai pelukan hangat seorang kakek yang sangat disayanginya.
Cerpen Dewandaru
11. Harapan Di Hutan Larangan
Kamis, 23 Juni 2022
Henri Koreyanto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H