Mohon tunggu...
Henri Koreyanto
Henri Koreyanto Mohon Tunggu... Buruh - Kuli Kasar

Sedang menjalin hubungan baik dengan Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bayi

5 April 2022   15:50 Diperbarui: 5 April 2022   15:59 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gelap, gelap sekali. Betul, memang gelap. Adakah ketakutan yang kau rasakan, mungkin semacam kengerian atau kesepian. Sepertinya, aku bahagia sekali. Hmm, itu artinya kau begitu menikmati apa pun situasinya. Ya, ya, Seperti itu lah.

Oke, saatnya.

Ah,bersabarlah kawan. Coba kau dengar itu, hmm, aku mendengarnya, cukup jelas sekali.

Baiklah-baiklah, ini saatnya. Apa yang kau katakan tadi coba ulangi. Ayolah ini memang sudah saatnya. Jangan paksa aku, aku menikmati ini. Ooo nggak bisa kawan, ini sudah waktunya. Aku tawar bolehkah. Nggak, nggak bisa kawan sudah waktunya.

Jangan sekarang, tapi aku tak ingin mendengarnya. Memang apa yang kau dengarkan coba beritahu aku.

Baiklah, begini.
Ya, suara itu seperti tak asing di benakku. Dentuman mesin-mesin jahanam, memekikan telingaku yang masih rentan. Namun ada sesuatu yang membuatku tenang, suara itu aku begitu mengenalnya, jauh ketika belum mencapai daun pintu. Suara lirih mirip takbir, doa-doa, dan wirid. Kemudian berulang lagi hingga saat ini, takbir, doa-doa, dan wirid. Menyambutku penuh suka cita.

Namun, cahaya yang mulai memasuki celah daun pintu itu membuat silau. Aku tak mampu membuka mataku lebih lebar lagi. Dan, aku seperti merasakan badan ini bersiap meluncur. Tentu engkau lebih tahu sebuah meriam, coba kau lihat peluru itu siap meluncur di lubang larasnya. 

Benarkah, Upss... Buum...

Jangan kawatir kawan, aku bersamamu. Kuasai badanmu, cobalah dengan matamu tatap itu, keluarkan suaramu sapa mereka. Percayalah, aku bersamamu.

Kawan, tolong aku, tolong. Aku harus bagaimana, ayo kawan jangan tinggalkan aku, mendekatlah, mendekatlah.

Bagaimana? Masihkah kau kebingungan, tunggu dulu kawan, cobalah untuk mengenali semuanya, hari ini milikmu seutuhnya. Aku di dekatmu, kenali aku nanti bila sudah waktunya kita bersulang.

Yap, tepat hari ini, aku hadir di sebuah pesta. Pesta yang penuh miliaran cahaya, ribuan suara menggema, diiringi air yang keluar dari sepasang bola mata. Oh, betapa mulianya aku ini. Didekapnya aku penuh kasih sayang, silih berganti mereka melakukannya. Namun sekali lagi, aku tak melihat kawanku. Ah, sungguh tega dia meninggalkanku dalam keadaan terbujur penuh gulungan kain, tega sekali dia.

Hari semakin larut, suasana semakin sunyi, keramaian suara tadi sudah tak kudengar lagi. Namun ada satu suara yang aku dengar silih berganti, ya dengkuran. Kawan, halo kawan, ayo mana janjimu, mendekatlah. Apa aku perlu menjerit agar kau datang, baiklah jika mau mu itu, aku teriak saat ini juga!

Hei, hei, ini aku. Aku di sampingmu, bagaimana bisa kau tak percaya aku. Janganlah kau sama kan aku seperti... Bagaimana bisa kau tumbuh dengan perasaan seperti itu. Ayolah, buang itu semua, percayalah, aku di sampingmu.

Aku tak mampu melihatmu, bagaimana aku bisa tahu kau di sampingku. Angkatlah sedikit dirimu mendekati wajahku, aku ingin berbincang-bincang denganmu, ayolah kawan.

Sekarang apa mau mu, ayo katakan, tapi ingat ada batasan yang tak bisa aku katakan seluruhnya. Cukup sekedarnya saja, oke.

Siapa namamu? Bagaimana mungkin kita berbincang hanya dengan sebutan kawan.

Perlukah nama untuk memanggilku sedang kita akan selalu bersama. Tidak untuk kali ini, cukup kau panggil aku kawan saja. Belum waktunya kau tahu siapa aku. Sudahlah, simpan rasa keingintahuan itu.

Baiklah-baiklah. Satu lagi yang ingin kutanyakan padamu kawan. Dan kali ini kau harus menjawabnya, atau jika tak kau jawab baiknya pergi saja tinggalkan aku. "Siapa aku?"

Kulihat dirinya tertawa terkekeh-kekeh, dengan sentuhan lembutnya, mendekati diriku. Mataku terpejam sejenak, kucoba mendengar semampuku, "Bayi."

Tak lama, sentuhan lembut penuh kehangatan itu lebur menyatu dengan cahaya yang nampak di atas kelopak mata. Seketika itu, aku pun menangis tersedu-sedu. Kurasakan seuntai tangan menepukku dengan kasih sayang diiringi suara lirih puji-pujian bernama selawat. Dan aku, masih saja terus menangis ke mana kah kawanku itu pergi.

Cerpen: "Bukan Monolog" #1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun