Yap, tepat hari ini, aku hadir di sebuah pesta. Pesta yang penuh miliaran cahaya, ribuan suara menggema, diiringi air yang keluar dari sepasang bola mata. Oh, betapa mulianya aku ini. Didekapnya aku penuh kasih sayang, silih berganti mereka melakukannya. Namun sekali lagi, aku tak melihat kawanku. Ah, sungguh tega dia meninggalkanku dalam keadaan terbujur penuh gulungan kain, tega sekali dia.
Hari semakin larut, suasana semakin sunyi, keramaian suara tadi sudah tak kudengar lagi. Namun ada satu suara yang aku dengar silih berganti, ya dengkuran. Kawan, halo kawan, ayo mana janjimu, mendekatlah. Apa aku perlu menjerit agar kau datang, baiklah jika mau mu itu, aku teriak saat ini juga!
Hei, hei, ini aku. Aku di sampingmu, bagaimana bisa kau tak percaya aku. Janganlah kau sama kan aku seperti... Bagaimana bisa kau tumbuh dengan perasaan seperti itu. Ayolah, buang itu semua, percayalah, aku di sampingmu.
Aku tak mampu melihatmu, bagaimana aku bisa tahu kau di sampingku. Angkatlah sedikit dirimu mendekati wajahku, aku ingin berbincang-bincang denganmu, ayolah kawan.
Sekarang apa mau mu, ayo katakan, tapi ingat ada batasan yang tak bisa aku katakan seluruhnya. Cukup sekedarnya saja, oke.
Siapa namamu? Bagaimana mungkin kita berbincang hanya dengan sebutan kawan.
Perlukah nama untuk memanggilku sedang kita akan selalu bersama. Tidak untuk kali ini, cukup kau panggil aku kawan saja. Belum waktunya kau tahu siapa aku. Sudahlah, simpan rasa keingintahuan itu.
Baiklah-baiklah. Satu lagi yang ingin kutanyakan padamu kawan. Dan kali ini kau harus menjawabnya, atau jika tak kau jawab baiknya pergi saja tinggalkan aku. "Siapa aku?"
Kulihat dirinya tertawa terkekeh-kekeh, dengan sentuhan lembutnya, mendekati diriku. Mataku terpejam sejenak, kucoba mendengar semampuku, "Bayi."
Tak lama, sentuhan lembut penuh kehangatan itu lebur menyatu dengan cahaya yang nampak di atas kelopak mata. Seketika itu, aku pun menangis tersedu-sedu. Kurasakan seuntai tangan menepukku dengan kasih sayang diiringi suara lirih puji-pujian bernama selawat. Dan aku, masih saja terus menangis ke mana kah kawanku itu pergi.
Cerpen: "Bukan Monolog" #1