Mohon tunggu...
Henri Koreyanto
Henri Koreyanto Mohon Tunggu... Buruh - Kuli Kasar

Sedang menjalin hubungan baik dengan Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Di Suatu Tempat Mengadu Harapan

10 Desember 2021   15:38 Diperbarui: 20 Desember 2024   01:52 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di Suatu Tempat Mengadu Harapan

Dibolak-balik seperti apa pun sudah pasti tak mampu mengubah tinta hitam yang telah menempel pada kertas putih itu.

Kalau pun memaksa beradu tinta hitam melawan cat putih di atas gelanggang kertas putih toh sama saja. Justru malah mengundang berbagai pertanyaan.

Dan bisa-bisa, menurunkan tingkat kredibilitasnya di hadapan Pak Broto sebagai pimpinan. Bertubi-tubi pertanyaan merejam dadanya tentu hal itu yang terjadi pada dirinya.

Kegelisahan dan kegundahan hati terus menghantui. Seakan memaksa tangannya mengepal dan ingin sekali memukul meja makan di depannya.

Namun, hal itu ia urungkan. Betapa dia menghormati sosok perempuan tua renta di depannya. Perempuan tua yang mengantarkannya pada sebuah pilihan hidup, apakah bertahan menjadi preman jalanan atau menjadi penerus lidah dari Pak Broto pimpinannya.

"Aih," gumamnya dengan kedua tangan memegang kepala dan terlihat carut-marut rambutnya.

Perempuan tua itu mendekatinya. Tertatih-tatih langkahnya, kemudian menemani duduk di samping kanan pria gondrong berkumis tebal dan penuh tato di sekujur tubuh itu. Mas Brengos panggilannya.

"Bagaimana ini Mbah, aku harus beralasan apa lagi ke Pak Broto?" Sayup terdengar Mas Brengos bertanya.

Tak mendapat jawaban, Si Mbah kemudian balik bertanya, "Berapa orang yang belum mencicil kasbon itu?"

Terdengar hembusan napas keluar pelan-pelan, "Baru 3 orang dari 10 penghutang," ujarnya dengan suara lirih, "Hanya saja tiga orang ini langsung melunasi sisa cicilan". Mas Brengos menunjukan buku kasbon itu.

Sesaat terlihat dahi Si mbah mengerut dengan sedikit senyum, "Nah itu. Masih ada harapan. Paling tidak dengan lunasnya cicilan tiga orang ini bisa menutupi kekurangan dari tujuh orang yang masih menunggak. Toh hutang mereka juga tak banyak-banyak amat," ujar Si Mbah.

"Walah Mbah, bukan itu jawaban yang kuharapkan dari masalah yang sedang kuhadapi ini," gumam Mas Brengos sambil menggaruk-garuk rambut di kepalanya.

Kemudian tangan Si Mbah menepuk punggung Mas Brengos, "Mas," dengan suara sayup "Sudah berapa lama kamu bekerja seperti ini. Barang tentu kenyang dengan berbagai kendala yang pernah dialami."

Si Mbah melanjutkan, "Dan setiap orang di desa ini yang berhutang kepada Pak Broto melalui dirimu, bukankah orangnya pun itu-itu saja. Tentu kamu sendiri lebih mengenal karakter mereka."

Tak berlama-lama Mas Brengos sewot mendengar penjelasan Si Mbah, "Mbah, bukan itu maksudku." Tangan kanannya mulai mengepal di atas meja, "Sudah dua minggu mereka menunggak cicilan. Dan ini sudah beranjak masuk tiga minggu masa tunggakan. Terus, alasan apa lagi yang kuberikan pada Pak Broto."

Si Mbah masih terus mendengar kata demi kata bak serangan mitraliur, "Mbah tak pernah tahu sifat Pak Broto itu, marah-marah dan bahkan mengumpat bila mendengar laporan yang kuberikan hanya itu-itu saja." Ujar Mas Brengos dengan sorot bola mata yang tajam.

Menyadari berbagai penjelasan yang telah diutarakannya tak membuahkan hasil apa pun. Perempuan tua itu mulai pasrah dan mengetuk kisi-kisi batinnya kemudian berkata lirih sembari mengelus punggung Mas Brengos "Mas, cobalah pergi ke ujung dermaga. Lihat dan rasakan posisi mereka pada dirimu. Bagaimana mungkin mereka bertaruh nyawa dengan ombak yang seberingas itu. Bukankah akan menambah masalah demi masalah."

Perempuan tua itu melanjutkan dengan penuh harapan, "Katakan pada Pak Broto dengan situasi dan kondisi yang kau rasakan saat berada di ujung dermaga. Dua minggu tak melaut bagaimana rasanya. Tentu mereka pun tak hanya tinggal diam pasti akan selalu berusaha mencari jalan keluar."

"Percayalah," dengan satu tarikan napas dan dalam, "Engkau adalah salah satu tempat mengadu harapan bagi mereka. Kehadiranmu seperti angin segar. Coba kau lihat anak-anak mereka masih bisa berseragam sekolah. Bukankah kau turut andil dalam hal ini," ujar Si Mbah meyakinkan Mas Brengos.

Seketika mendengar kata-kata Si Mbah itu. Mas Brengos terdiam dengan kepala menunduk dan sorot mata yang sejuk.

Terlihat kepalanya manggut-manggut, seperti telah menangkap suatu jawaban untuk bekal menghadap Pak Broto. Wajahnya mulai menampakan percaya diri. Dan Si Mbah beranjak dari tempat duduk, kemudian membuat teh manis untuk Mas Brengos yang tak lagi berwajah muram.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun