Mohon tunggu...
Henri Koreyanto
Henri Koreyanto Mohon Tunggu... Buruh - Kuli Kasar

Sedang menjalin hubungan baik dengan Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Di Suatu Tempat Mengadu Harapan

10 Desember 2021   15:38 Diperbarui: 10 Desember 2021   17:27 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dibolak-balik seperti apapun sudah pasti takkan mampu mengubah tinta hitam yang telah menempel pada kertas putih itu.

Kalaupun memaksakan beradu tinta hitam melawan cat putih korektor di atas arena kertas putih toh sama saja. Justru akan mengundang berbagai pertanyaan.

Dan bisa-bisa, menurunkan tingkat kredibilitasnya di hadapan Pak Broto sebagai pimpinan. Bertubi-tubi pertanyaan merejam dadanya tentu hal itu yang pasti terjadi pada dirinya.

Kegelisahan dan kegundahan hati terus menghantui. Seakan memaksa tangannya mengepal dan ingin sekali memukul meja makan di depannya.

Namun, hal itu ia urungkan. Betapa dia menghormati sekali sosok perempuan tua renta di depannya. Perempuan tua yang mengantarkannya pada sebuah pilihan hidup, apakah bertahan menjadi preman jalanan ataupun menjadi penerus lidah dari Pak Broto pimpinannya.

"Aih," gumamnya dengan kedua tangan memegang kepala dan terlihat carut-marut rambutnya.

Perempuan tua itu pun mendekatinya. Tertatih-tatih langkahnya, kemudian menemani duduk di samping kanan pria gondrong berkumis dan penuh tato di sekujur tubuh itu. Mas Brengos panggilannya.

"Bagaimana ini Mbah, aku harus beralasan apa lagi ke Pak Broto?" Sayup terdengar Mas Brengos bertanya.

Tak mendapat jawaban, Si Mbah kemudian balik bertanya "Berapa orang yang belum mencicil kasbon itu?"

Terdengar hembusan napas keluar pelan-pelan "Baru 3 orang dari 10 penghutang" ujarnya dengan suara lirih, "Hanya saja 3 orang ini langsung melunasi sisa cicilannya". Mas Brengos sambil menunjukan buku kasbon itu.

Tiba-tiba terlihat dahi Si mbah mengerut dengan sedikit senyuman "Nah itu. Masih ada harapan. Paling tidak dengan lunasnya cicilan 3 orang ini bisa menutupi kekurangan dari 7 orang yang masih menunggak. Toh hutang mereka juga tak banyak-banyak amat" ujar Si Mbah.

"Walah Mbah, bukan itu jawaban yang kuharapkan dari masalah yang sedang kuhadapi ini" gumam Mas Brengos sambil menggaruk-garuk rambut di kepalanya.

Kemudian tangan Si Mbah menepuk punggung dekat leher Mas Brengos, "Mas," dengan suara sayup "Sudah berapa lama kamu bekerja seperti ini. Tentunya sudah kenyang dengan berbagai kendala yang pernah dialami."

Si Mbah melanjutkan "Dan setiap orang di desa ini yang berhutang kepada Pak Broto melalui dirimu, bukankah orangnya pun itu-itu saja. Tentu kamu sendiri lebih mengenal karakter mereka."

Tak berlama-lama Mas Brengos sewot mendengar penjelasan Si Mbah, "Mbah, bukan itu maksudku." Tangan kanannya mulai mengepal di atas meja "Sudah 2 minggu mereka menunggak cicilan. Dan ini sudah beranjak memasuki 3 minggu masa tunggakan. Terus, alasan apa lagi yang akan kuberikan pada Pak Broto."

Si Mbah masih terus mendengar kata demi kata bak serangan mitraliur "Mbah tak pernah tahu sifat Pak Broto itu, marah-marah dan bahkan mengumpat bila mendengar laporan yang kuberikan hanya itu-itu saja." Ujar Mas Brengos dengan sorot bola mata yang tajam.

Menyadari berbagai penjelasan yang telah diutarakannya tak membuahkan hasil apa pun. Perempuan tua itu mulai pasrah dan mengetuk kisi-kisi batinnya kemudian berkata lirih sambil mengelus punggung Mas Brengos "Mas, cobalah pergi ke ujung dermaga. Lihat dan rasakan posisi mereka pada dirimu. Bagaimana mungkin mereka bertaruh nyawa dengan ombak yang seberingas itu. Bukankah akan menambah masalah demi masalah."

Perempuan tua itu melanjutkan dengan aura penuh harapan "Katakan pada Pak Broto dengan situasi dan kondisi yang kau rasakan saat berada di ujung dermaga. 2 minggu tak melaut bagaimana rasanya. Tentu mereka pun tak hanya tinggal diam pasti akan selalu terus berusaha."

"Percayalah," dengan satu tarikan napas dan dalam, "Engkau adalah salah satu tempat mengadu harapan bagi mereka. Kehadiranmu seperti angin segar. Coba kau lihat anak-anak mereka masih bisa berseragam sekolah. Bukankah kau turut andil dalam hal ini", ujar Si Mbah meyakinkan Mas Brengos.

Seketika mendengar kata-kata Si Mbah itu, ada yang meleleh jauh di lubuk hati yang terdalam. Mas Brengos terdiam dengan kepala menunduk dan sorot mata yang mulai menyejuk.

Terlihat kepalanya manggut-manggut, seperti telah menangkap suatu jawaban untuk bekal menghadap Pak Broto. Wajahnya pun mulai menampakan keoptimisan. Dan Si Mbah pun beranjak dari tempat duduk, kemudian membuatkan teh manis untuk Mas Brengos yang tak lagi berwajah muram.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun