***
Dear Moonlight, dua bulan yang lalu aku pernah menuliskan bertemu dia di ruang tunggu bandara. Aku pernah mengatakan kalau nanti bertemu lagi, berarti kami ditakdirkan untuk bersama. Kemarin aku melihatnya sedang duduk di kafe dengan novel The Testament di tangan dan secangkir kopi yang menemani. Ah, ternyata dia belum selesai dengan kisah perjalanan Nate. Aku ingin mendekat untuk menceritakan bagian akhir dari petualangan itu. Tapi menurutku hal itu sama sekali tidak seru. Dia tidak akan bisa berimajinasi dengan bebas. Ku biarkan saja dia larut dan menjadi penasaran. Dear Moonlight, semoga dia segera menuntaskan cerita itu dan kami akan bertemu sambil menceritakan bagian yang kami suka dalam novel itu.Â
Dewa bergeming, matanya menatap lekat layar laptop. "Apa yang harus aku lakukan untuk bertemu kamu?" katanya pelan.
"Hei, dia lagi!" Mona yang berdiri di belakang Dewa membungkuk dan mendekatkan matanya pada layar laptop. "Senja. Kenapa dia jadi membuatku penasaran?" Mona tertawa pelan. Dewa hanya menceritakan tentang Senja pada Mona, rekannya sesama penyiar radio ,"Balas saja email-nya, katakan kamu ingin bertemu."
"Kamu yakin dia mau bertemu?"
"Mungkin sebenarnya dia sedang menunggu kamu mengatakannya." Dewa menghela napas.
"Baru kali ini kamu ragu untuk bertemu seseorang. Di mana pengalamanmu yang berderet itu. Seorang Dewa gitu, lho!" Mona tersenyum mengejek.
"Sialan!" Dewa tertawa. Sungguh, baru kali ini dia ragu mengambil langkah untuk berkenalan dengan perempuan. Mona menepuk pundak Dewa, "Jelas-jelas dia terpesona padamu."
"Hei, tapi aku tidak mengenalnya!"
"Sudahlah, jangan buat dirimu mati penasaran!" kata Mona sambil menepuk pundak Dewa.
Matanya tak lepas dari layar laptop, berkali-kali Dewa membaca email yang akan dia kirim kepada Senja. Dia menuruti saran dari Mona, meskipun dia merasa ragu.