"Dengarkan!" Nadya menyodorkan satu ear phone-nya pada Randi. Alunan musik klasik terdengar di telinganya. Randi tak paham dengan musik klasik.
"Farewell Waltz! Itu tentang kisah perpisahan, Chopin menciptakan lagu itu untuk tunangannya. Namun, hubungan mereka tidak disetujui oleh ayah tunangannya. Akhirnya mereka memilih untuk berpisah. Aku merasakan betapa sakitnya bila ketika mencintai seseorang tetapi harus memilih untuk pergi dan membiarkan cinta itu menjadi kesedihan. Apa kisahmu seperti itu?"
"Ya."
"Chopin membuat Farewell Waltz ketika patah hati, bahkan Kahlil Gibran mencipta sebuah puisi dan kamu hanya bisa meratapi kesedihanmu. Dua tahun, katamu!" Nadya tertawa pelan, seolah mengejek Randi.
Randi tertunduk, baru kali ini dia merasa begitu malu.
"Aku pernah kehilangan, seperti kamu. Namun, aku tak ingin berlama-lama meratapinya. Untuk apa?"
 Nadya tersenyum, matanya bersinar jenaka. "Kalau suatu saat kita bertemu lagi, aku ingin melihatmu tersenyum lebar."
Malam itu gerimis turun, Randi menarik tangan Nadya untuk berteduh di dalam kafe.
"Aku suka gerimis. Aku ingin duduk di sini. Kalau kamu mau berteduh, pergi lah!" Nadya mendorong pelan punggung Randi.
"Tidak! Aku akan di sini bersama kamu."
Mungkin malam kita akan semakin terasa dingin dengan gerimis yang luruh menemani tetapi asal bersama kamu semuanya akan baik-baik saja. Randi berkata dalam hati. Nadya seolah menariknya untuk tetap berada di sisinya.