"Kita bisa berhenti sebentar di depan situ." Olivier berkata dan meminggirkan mobil di tepi jalan yang lengang.Â
Dia tahu, aku suka mengabadikan suasana musim gugur yang indah luar biasa. Sepertinya kami berdua dinaungi hawa keromantisan. Mungkin karena kami bertemu saat musim gugur, atau karena kami sama-sama terlahir pada musim ini.Â
Olivier menggodaku ketika tahu kebiasaanku yang unik di musim gugur. "Sweet Maple" begitu julukan yang dia berikan. Aku suka mengumpulkan beberapa lembar daun maple, sekadar memotretnya, atau aku lekatkan dalam album, kali lain kujadikan hiasan dalam bingkai foto.
Memang tidak istimewa. Akan tetapi, jika diperhatikan deretan daun dengan keajaiban warnanya, rasa takjub tak terhingga akan hadir saat memandang indahnya lembaran dedauan itu; warna hijau, kuning keemasan, merah, coklat, hingga  perpaduan beberapa warna pada selembar daun.
"Pakai jaketmu, my dear." Olivier menyelimutiku dengan jaket yang baru diambilnya dari mobil.
"Thank you," ucapku memeluk pinggangnya.
"Sudah berapa musim gugur yang kita nikmati bersama?" Tanyaku sedikit berbisik. Ada seekor squirrel memanjat pohon sambil membawa satu kacang hazel. Pergerakannya cukup cepat. Aku tak ingin kehilangan momen ini untuk dipotret.
Squirrel adalah mamalia pengerat yang banyak dijumpai pada musim gugur. Bajing (tanpa akhiran an), begitu sebutannya dalam bahasa Indonesia. Menurut ilmu biologi, bajing tidak sama dengan tupai. Ukuran tubuh bajing lebih besar. Hewan pengerat ini lebih suka memakan biji-bijian, sedangkan tupai adalah pemangsa serangga.
"Masih setengah jam lagi kita tiba di sana." Olivier berkata sesaat setelah kami melanjutkan perjalanan ke Montreal.
Kami akan bertemu Maura dan suaminya di Montreal. Sebetulnya Maura mengundangku mengunjunginya di Vermont. Mantan teman kerjaku ini sudah hampir dua tahun menetap di sana bersama suaminya.
Sayangnya, waktuku tidak banyak. Jadi, kami putuskan untuk bertemu di Montreal. Kota ini berada di tengah antara rumah Maura dan rumah Olivier. Dapat dijangkau dengan menempuh perjalanan sekitar 2 jam dengan kendaraan pribadi.Â
Kami pilih Mont Royal sebagai titik temu. Area perbukitan ini merupakan landmark kota yang banyak dikunjungi wisatawan. Konon, kawasan Mont Royal ini adalah sisa-sisa area vulkano yang terkikis. Â
Maura dan suaminya datang hampir bersamaan dengan kami, lima belas menit sebelum waktu yang disepakati. Kami bertemu saat menapaki jalan yang sedikit mendaki. Jam menunjukkan pukul 10 kurang lima belas.
Aku dan Maura terpekik kegirangan dan berpelukan erat sekali. Berapa tahun kami tidak bertemu? Ya, hampir tiga tahun lamanya. Aku ingat perpisahan kami di Jakarta bersama dua sahabat lainnya. Melewati malam di satu kamar hotel di kawasan Sudirman dengan tawa dan tangisan.
Maura mengenalkan Michael, suaminya. Ini kali pertama aku mengenalnya secara langsung. Sebelumnya hanya mendengar cerita tentang laki-laki tampan dengan tatapan teduh itu dari Maura.
Ah, memang betul, mereka pasangan yang serasi. Sungguh menyenangkan mengamati mereka saling menatap penuh kasih. Aku bahagia banget melihat Maura akhirnya menemukan pria yang tepat sebagai pendamping hidupnya.
Gimana dengan diriku dan Olivier? Semua orang juga mengatakan begitu, kami terlihat sangat harmonis.
Aku kenalkan pria yang begitu kucintai ini. Olivier seperti biasa cepat akrab dengan siapa saja. Celetukan dan candanya sering membuat orang terpingkal-pingkal. Kadang dia juga terkesan tidak tahu malu.
"Wow, ganteng banget Olivier." Maura berbisik sembari menarik tanganku, menjauh dari Michael dan Olivier yang sedang asyik berbincang. Kedua pria ini sepertinya memberi kami ruang untuk melepas rindu.
"Lumayan juga, plus romantis," timpalku. Maura tergelak dan pura-pura sibuk memotret. Takut kalau-kalau kedua pria itu merasa sedang kami bicarakan.Â
Entahlah, apakah aku harus bahagia mendengar ucapan Maura. Barangkali perasaanku sedang terbelah saat ini, di satu sisi berada dalam kebahagian, sementara sisi satunya terkatung-katung dalam ketidakpastian.
* * *
"Aku coba Peche Mortel." Maura mengatakan pada waitress yang mencatat pesanan kami.
"Good choice." Olivier menimpali. Dieu du Peche Mortel salah satu bir terbaik dari Kanada yang asalnya dari Quebec, begitu menurutnya.
Maura mengangsurkan gelasnya padaku dan memintaku untuk mencicipi minuman yang disajikan dingin itu.
"Sama saja rasanya, seperti bir. Aku memang nggak suka bir," ujarku menggeser gelas kembali ke hadapan Maura.
"Oh, really?" Nada keheranan terucap dari Michael.
Ya, tentu saja dia tidak mengetahui kebiasaanku, kami baru berkenalan hari ini. Maura dan Olivier membenarkan ucapanku dan kami berempat akhirnya tertawa.Â
Hidangan makan siang kami terasa lebih nikmat. Mungkin karena kami menikmati di Vieux-Montréal atau Old Montreal yang penuh pesona. Kota tua yang dibangun oleh bangsa Prancis sekitar tahun 1600-an ini indah bagai lukisan.
Suasananya persis seperti di Eropa, bentuk gedung-gedung, gereja, dan rumah tua yang indah dan terjaga, juga toko yang berjajar di sepanjang kawasan pejalan kaki yang dengan susunan batu pada permukaan jalan.
"Hey, Olivier." Seorang wanita cantik dengan rok hijau tosca dan baret warna cognac menyapa dan mendekati Olivier. Kami berempat sedang menyusuri tepian Sungai Saint Lawrence di Old Port Montreal.
"Hi, Ruby." Balas Olivier terkejut,lalu memberikan ciuman di pipi wanita itu.
Oliver mengenalkan aku pada wanita itu, juga Maura dan Michael. Ruby sangat ramah dan ceria. Tidak lama dia pamit dan berjalan menuju bangku taman yang diduduki beberapa orang. Mereka melambaikan tangan pada Olivier.
Kami berempat berjalan ke arah yang berlawanan. Olivier merangkul bahuku dan berjalan pelan-pelan sambil tetap berceloteh dengan riang.
Oh, jadi itu wanita yang bernama Ruby. Betapa memikat senyumnya. Sungguh wanita yang cantik. Pikiran dan perasaanku tiba-tiba terlempar ke dalam pusaran badai.Â
Untuk JR-QC
Hennie Triana Oberst
Germany, 03.10.2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H