Terkadang rencana yang telah kita susun dengan baik tidak berjalan sesuai yang kita inginkan. Bahkan sebelum rencana itu diputuskan, ada saja hal yang tiba-tiba datang.
Liburan Paskah dua minggu yang baru berakhir, saya berencana akan berkumpul dengan dua saudara kandung saya yang tinggal di Eropa. Maksud kami akan bertemu di satu kota di Jerman. Sayangnya, saya tidak bisa bergabung karena waktunya berbenturan dengan acara lainnya.
Kali ini kami sengaja memilih sekadar jalan-jalan mengunjungi kota yang tidak terlalu jauh dari rumah dan tidak perlu menginap. Di samping itu, saya perhatikan teman-teman anak saya banyak yang tidak pergi liburan jauh. Hampir setiap hari ada saja kegiatan anak saya kumpul-kumpul dengan temannya. Saya berusaha memahami dunia remaja yang sedang dijalani anak saya.
Pada liburan minggu kedua, rencana kami sebetulnya sudah jelas akan ke mana. Ada tiga kota yang akan kami kunjungi. Di satu kota kami akan mampir ke rumah saudara sepupu suami saya yang sudah cukup lama tidak bertemu.
Liburan akan kami tutup mengunjungi Munich. Kebetulan suami saya ada tugas di kota ini. Dia pikir, mumpung anak saya libur sekolah kami bisa sekalian jalan-jalan. Saya dan anak saya bisa jalan-jalan berdua tanpa mengganggu jadwal suami.
Remaja dan argumentasi yang tidak habis-habis. Diskusi panjang pun dimulai. Anak saya dan teman-temannya telah ada rencana sendiri. Dia mengatakan tidak apa jika dia tidak ikut ke Munich. Teman sekelasnya menawarkan untuk menginap di rumahnya.
Saya kenal dengan orang tua temannya. Namun begitu, saya tidak enak membiarkan anak saya tiga hari menginap di rumah temannya. Akhirnya saya mengalah. Saya tidak akan ikut ke Munich. Biarlah suami saya pergi sendiri. Toh, dia juga memang ada urusan kerja di kota itu.
Liburan yang jungkir balik
Tanggal 19 saya mulai pilek. Malam hari, demam tinggi dan leher rasanya panas seperti terbakar. Saya belum pernah merasakan situasi seperti ini.
Esok paginya kami melakukan tes antigen. Beberapa waktu belakangan kami memang sering melakukan tes corona ini. Hanya untuk berjaga-jaga karena kasus terinfeksi masih cukup tinggi.
Hasil tesnya? Saya dan anak saya positif, suami negatif.
Anak saya memang agak pilek dan batuk. Saya kira hanya flu biasa karena cuaca masih berubah-ubah dari hangat ke dingin.
Dari mana tertularnya? Saya tidak tahu. Bisa jadi dari anak saya yang hampir setiap hari berkumpul dengan teman-temannya dan menggunakan kendaraan umum.
Suami saya segera berbelanja kebutuhan makanan untuk seminggu. Saya dan anak langsung masuk kamar, mengisolasi diri.
Kegiatan saya dua hari pertama isolasi adalah tidur. Lebih banyak tidur daripada melakukan aktivitas lain. Apa yang bisa saya lakukan dalam keadaan tidak fit. Membaca dan menulis membuat saya cepat lelah. Saya isi waktu sesekali menonton film dan drama.Â
Dua hari kemudian, suami saya menyusul positif. Sejak saya dinyatakan positif kami sudah pisah kamar tidur. Masker medis selalu kami gunakan kecuali di kamar tidur dan kamar mandi. Waktu makan juga saya atur sesingkat mungkin bertemu dan tentu duduk berjauhan.Â
Banyak tidur selama dua hari pertama ternyata membawa pengaruh baik. Saya merasa sudah lebih sehat. Aktivitas sehari-hari bisa saya lakukan tanpa ada masalah.Â
Rencana liburan kami dan urusan kerja suami menguap begitu saja. Mungkin kami bertiga memang diminta untuk beristirahat total. Seandainya bukan positif corona, bisa jadi kami tetap bandel untuk jalan-jalan meskipun flu. Â Â
Â
Sekarang, saya dan anak saya sudah sehat kembali. Hasil tes dua hari terakhir ini negatif. Suami saya masih harus menunggu. Semoga segera negatif.
Salam sehat untuk semua.
Hennie Triana Oberst - DE, 25.04.2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H