"Jangan sampai magrib pulangnya." Ibu menyahut saat aku pamit mau ke rumah Santi.Â
Sejak kecil aku selalu diingatkan, saat magrib jangan berada di luar rumah. Pernah aku bertanya pada nenekku, apa alasannya tidak boleh keluar saat magrib.
"Nanti ditangkap lampor." Begitu nenek mewanti-wanti. Ibu pun melanjutkan ajaran yang dia terima dari nenek. Ya, sudah pasti begitu.
Entah seperti apa wujud lampor itu. Nenek bilang itu makhluk halus yang bisa menculik orang. Konon, orang yang selamat dan kembali setelah diculik lampor bisa hilang ingatan, alias gila.
Waktu itu aku tidak banyak tanya. Mana mungkin aku berani melanggarnya. Lagi pula, siapa yang bersedia jumpa lampor dan diculik.
Tapi itu dulu, saat aku masih kecil. Sekarang beda. Aku sudah SMA. Rasa takut luntur, begitu juga percaya akan mitos tentang makhluk halus sudah hilang.
Lampor itu hanya kepercayaan orang dulu. Aku tahu, pasti ada pesan dan maksud baik di baliknya, meskipun kesannya menakut-nakuti. Memang begitulah cara orang dulu menyampaikan nasihat dan ajaran kehidupan.
Menjelang maghrib memang sebaiknya di rumah, berkumpul dengan keluarga. Waktu-waktu ini biasanya orang sudah kembali dari pekerjaan, saatnya makan malam bersama, dan menjalankan ibadah salat Magrib bagi yang beragama Islam.
***
Kulihat Santi duduk di teras rumahnya di tengah halaman yang asri. Ada tugas bersama yang harus kami selesaikan dan diserahkan besok.Â
Kami putuskan untuk mengerjakan tugas di rumah Santi karena adiknya yang baru duduk di kelas satu SD tidak mungkin dibiarkan di rumah sendirian sore itu
Aku setuju saja, malahan senang. Setiap Kamis sore "Sate Padang Ipul" mangkal di halaman bengkel mobil di depan rumah Santi. Menurutku, ini sate Padang terenak di kotaku.
Sate dengan bumbu khas dari Sumatra Barat ini memang kesukaanku. Menyantap sate di sela tugas dari pak Awang pasti lebih nikmat rasanya.
***
Wah, sudah hampir jam setengah delapan malam. Ini gara-gara di kedai kak Sum banyak pembeli.Â
Aku terpaksa harus mampir beli selotip dan lem yang aku perlukan untuk menyempurnakan tugas yang akan diserahkan  besok.
Langkah kupercepat, beberapa tetes hujan mulai jatuh. Sebetulnya jarak rumahku dan Santi tidak jauh, cukup berjalan kaki 20 menit. Makanya aku biasa berjalan kaki.
Jalur yang kulewati ini adalah rumah penduduk, tetapi di pertengahan perjalanan ada kebun pisang yang lumayan luas. Kalau malam begini terlihat gelap, meskipun di dalam ada rumah penjaga kebun.
Dari kejauhan kulihat asal rokok membubung. Seorang pria sedang merokok di depan gerbang kebun pisang.
"Ah, pasti penjaga kebun," batinku.
"Dari mana, Ra?" Sosok dengan rambut ikal yang diterpa sinar lampu jalan menyapaku.
Kok dia tau namaku? Aku menoleh. Ah, ternyata Bang Jul, yang berprofesi sebagai tukang kebun. Dia melayani panggilan untuk memotong pohon-pohon besar, termasuk juga di halaman rumah.
Sesekali ayahku menggunakan jasanya untuk memotong pohon-pohon yang sudah tinggi di halaman belakang rumah kami.
Aku berhenti sejenak, menjawab pertanyaan bang Jul.
"Nggak takut kau malam-malam jalan sendiri?" Suara bang Jul terdengar berat.
Kulihat dia tersenyum makin lebar. Tapi kenapa tubuhnya makin lama makin tinggi. Hampir menyamai tingginya tiang lampu jalan.
Aku berlari lintang pukang. Tapi kakiku, kenapa berat sekali. Aku jatuh, terduduk.
Seorang bapak dengan peci putih dan kain kotak-kotak di bahunya mendekatiku. Aku terduduk di depan pintu pagar rumahnya, menghalangi jalan masuk ke rumahnya.
"Kamu kenapa? Terluka nggak?" Ada nada khawatir saat dia melontarkan pertanyaan dan membantuku berdiri.Â
"Ya sudah, cepat pulang sana." Bapak itu berkata dengan suara yang menenangkan.
Aku permisi dan bergegas meninggalkan tempat itu setengah berlari.
Kulihat ibuku berdiri di teras rumah. Beliau pasti cemas menunggu. Ponselku tadi tak sempat kubawa karena sedang dicas.
Kulirik jam di pergelangan tanganku, hampir jam 10 malam.
Oh, Tuhan. Apa yang baru terjadi?
.
Lampor (menurut KBBI) adalah makhluk halus yang berarak
(Hennie Triana Oberst - De, 24.09.2021)
.
**Kisah ini hanya fiktif belaka. Seandainya ada kesamaan nama tokoh, itu hanya kebetulan dan tidak ada unsur kesengajaan.dibutuhkan pendidikan karakter untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas moral pada anakÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H