Telur seribu tahun sudah dikenal sejak dinasti Ming, sekitar 600 tahun yang lalu. Ada beberapa legenda mengenai asal usul ditemukannya telur pidan ini, salah satunya dari provinsi Jiangsu.
Konon, ada satu warung teh di satu desa yang sangat ramai pengunjungnya. Lantaran terlalu sibuk melayani tamu di kedai, pemiliknya hanya meletakkan ampas teh ke atas tumpukan abu dari pembakaran. Dia tidak punya waktu untuk membuangnya.Â
Pemilik warung memiliki beberapa ekor bebek yang suka bertelur di tumpukan abu yang hangat itu. Secara tidak sengaja, dia menemukan telur-telur itu saat membersihkan tumpukan abu tersebut. Telur yang berwarna hitam itu dicicipinya, dan rasanya enak.Â
Telur seribu tahun tidak lain adalah sejenis telur asin yang kita kenal. Hanya menggunakan bahan yang berbeda, dan metode pengawetannya memakan waktu lebih lama.Â
Menurut seorang petani, mereka membuat telur pidan ini karena banyaknya telur yang dihasilkan ternak mereka. Telur-telur ini tidak mungkin disimpan dalam jangka waktu yang lama, lebih-lebih saat cuaca panas. Mengawetkan dengan cara fermentasi adalah langkah yang tepat, agar telur tidak cepat rusak.
Menurutnya, bahan yang digunakan adalah tanah liat, kapur, soda, garam, bubuk teh hitam, daun pinus yang kering. Campuran ini diaduk dengan air panas hingga menjadi adonan berupa bubur kental untuk membungkus telur. Setelah dibungkus dengan adonan ini, bagian luarnya dibungkus dengan sekam.
Proses pengawetan ini memakan waktu sekitar 45 hingga 90 hari. Iya, bukan 100 atau 1000 tahun. Telur pidan dapat disimpan hingga bertahun-tahun lamanya, dan tidak akan rusak.
Menurut petani ini, bahan utama yang harus ada adalah daun pinus kering. Sebab itulah telur pidan disebut juga dengan telur pinus.
Kabarnya, telur seribu tahun dipopulerkan oleh seorang kaisar, sekitar 300 tahun yang lalu. Suatu hari, kaisar ini menyamar menjadi penduduk biasa, dan berjalan-jalan di satu desa. Dia mencicipi sajian telur dari penduduk desa setempat. Telur yang lezat ini membuat dia ketagihan.