Mohon tunggu...
Hennie Triana Oberst
Hennie Triana Oberst Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling dan budaya

Kompasianer Jerman || Best in Citizen Journalism Kompasiana Awards 2023

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Vila di Pinggir Pantai (3)

16 November 2020   20:52 Diperbarui: 16 November 2020   21:15 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

       Vila (1)

       Vila (2)

Vila (3)

Liburan tanpa shopping itu seperti sayur kurang garam. Tapi sayangnya banyak laki-laki tidak betah diajak menjelajah toko satu ke toko lainnya. Maka pilihan aman, aku dan saudara perempuanku memutuskan menikmati waktu belanja tanpa anak dan suami. Anak-anak tinggal di vila dijaga papa mereka. Urusan makan sudah ada yang menangani.

Kapan lagi bisa beli souvenir asli dari Pulau Dewata dengan pilihan yang sangat beragam dan harga yang masuk akal. 

"Bli Made sedang ada urusan, nggak bisa nganterin kita belanja."

Astri, adikku sambil mengenakan sepatu berkata.

Bli Made adalah supir yang disediakan oleh pemilik vila untuk mengantar tamunya. Pria yang tuturnya halus ini ada kepentingan keluarga yang tidak bisa ditinggal.

"Nggak apa-apa, kita naik angkot aja. Gampang."

Kakakku menimpali.

***

"Satu jus sirsak ya, Mbak," pesanku pada seorang pelayan yang sedang mencatat menu.

Kami putuskan untuk istirahat sejenak dan berteduh dari gerahnya hari. Kami pilih rumah makan kecil yang terlihat nyaman, tidak jauh dari toko-toko di sekitar tempat belanja wilayah Buleleng.

"Ada yang mau aku ceritain," kakakku berkata setengah berbisik.

"Hah, ada gosip apa nih?" Bersamaan kami agak merapat ke meja.

"Tadi malam Stefan ngeliat perempuan di halaman sekitar vila."

"Orang atau hantu?"

Raisa, adikku yang satu lagi bertanya sambil mengusap lengannya.

Aku pun latah, ikutan mengusap kedua lenganku., merinding.

"Makanya, mau cerita siang-siang aja dan nggak di vila." Kakakku berkata sambil senyum-senyum.

"Iya, yang tadi malam Stefan keliling vila itu ya?" tanyaku.

"Iya. Dia kan sedang merokok. Tiba-tiba dia liat ada erempuan melintas di halaman vila yang di dekat pantai. Penasaran dia, di vila ini kan cuma keluarga aja yang nginap. Dari mana bisa ada perempuan masuk."

Astri menggandeng lenganku rapat ke badannya. Kami cekikian. Untung rumah makan ini sudah sepi dari pengunjung, jam makan siang sudah lewat.

"Terus."

"Jadi, dia datangi perempuan itu. Maksudnya mau dia tanya. Tapi setiap dia udah dekat, perempuan itu nggak ada, dan muncul di sudut halaman yang lain. Gitu terus. Makanya dia keliling halaman vila."

"Hiiiii..."

"Dia merasa ada yang nggak wajar. Terus dia balik ke vila. Yang kita lihat tadi malam itu."

Kakakku mengakhiri cerita dan memandang ke arahku.

"Ihhh, bisa gitu ya. Padahal Stefan itu kan nggak percaya hantu. Dia suka gangguin kita kan."

Raisa betul. Stefan memang nggak percaya bahwa hantu itu ada, sama seperti suamiku dan sepertinya hampir semua orang Jerman nggak percaya hantu.

Kami tertawa-tawa membenarkan ucapan Raisa. Membayangkan Stefan mengejar hantu perempuan di sekitar vila.

"Cewek bule itu masih muda."

Begitu kakakku mengatakan, sesuai perkataan suaminya.

"Terus, Stefan bilang ke aku, dia ngerti apa itu hantu yang selama ini sering kita bicarakan."

"Ihhhh, ngeri."

"Udah, ah. Kita lanjutkan belanja sebelum sore," sambil melihat jam, aku mengajak saudaraku beranjak.

"Ada baju yang mau aku beli untuk malam tahun baru."

Sepertinya saudaraku satu ide, sama-sama mau beli dress untuk malam tahun baru.

***

Kami kembali ke vila dengan mengendarai angkot yang sama dengan yang kami naiki ketika berangkat. Ternyata waktu mondar-mandir kami bersamaan dengan jadwal angkot. 

Supir angkotnya sangat baik hati, mengantarkan kami sampai di depan vila. Padahal vilanya memasuki jalan yang bukan jalur kendaraan umum. Lumayan, kami menghemat tenaga dan waktu, tak perlu berjalan kaki beberapa ratus meter sambil menenteng belanjaan.

***

"Ayu, foto perempuan muda yang tergantung di lumbung itu siapa?" aku bertanya pada wanita muda yang membantu di dapur.

"Oh, itu Loulou,  anak pertama mister Cedric, anak keduanya yang laki-laki itu. Tapi Loulou sudah meninggal."

Ya, aku ingat. Hari pertama kami tiba di vila ini, pemiliknya, Cedric beserta istri dan anak laki-laki usia 6 tahun datang berkenalan. Pasangan Belgia itu sudah cukup lama menetap di Pulau Dewata.

"Loulou? Itu nama vila ini kan?"

"Iya, memang vila ini dibuat untuk anaknya. Loulou meninggal beberapa tahun lalu, kecelakaan di jalan raya. Kabarnya bunuh diri."

"Hah?"

"Iya, gitu kabarnya Mbak. Katanya, Loulou menabrakkan mobilnya ke pohon di pinggir jalan."

"Terus, kalian pernah punya pengalaman yang aneh-aneh nggak?"

Aku penasaran dan bertanya serius pada Ayu.

"Memang kenapa, Mbak? Ada yang aneh-aneh ya?"

Ayu, bukannya menjawab malah bertanya sambil cengengesan.

"Dia nggak ganggu kok, cuma kadang-kadang nampakin diri. Mungkin cuma mau nunjukin ke tamu, kalau vila ini dia yang punya."

"Udah ah, jangan cerita yang serem lagi."

Ucapanku membuat Ayu terbahak-bahak.

***Tamat

-------

Hennie Triana Oberst - DE.16112020

"Vila di Pinggir Pantai"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun