Aku tidak tahu perang apa yang terjadi di negeri kami. Yang pasti, setiap hari kami semua ketakutan karena suara rentetan senjata dan orang-orang yang berteriak dan menangis.
Aku ingat, saat usiaku 10 tahun, kami sekeluarga naik kapal yang berisi banyak penumpang. Sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan. Untungnya papaku ikut bersama kami, jadi kami tidak terpisah.Â
Kata mama, berhari-hari kami di laut, anak-anak menangis karena lapar dan kedinginan. Beruntung kami diselamatkan oleh satu kapal besar yang melintas.
Mereka membawa kami ke satu gedung yang besar dengan banyak sekali penghuni dari negeri kami yang hancur. Tempat penampungan, begitu mama menjawab, ketika aku bertanya kami ada di mana.
Enam tahun sudah berlalu. Kami tidak bisa kembali ke negeri kami, rumah dan seluruh kota sudah hancur, rata dengan tanah. Tidak apa-apa, aku juga tidak ingin kembali lagi ke sana. Aku bahagia berada di negeri yang baru ini, tidak ada perang di sini.
***
"Hai Amira!"Â
Emma menyambut dengan girang dan memelukku.Â
Kami menuju kamarnya dan mengobrol di balkon yang terhubung langsung dengan kamarnya.
"Besok jam 2 siang Paul dan Fynn datang. Kita jalan-jalan ke kota dan ke Cafe Echo."
Emma berkata sambil mendekatkan wajahnya, menggodaku.Â